Budaya dan agama? Dua kosa kata yang sering jadi bahan pembahasan dan perbincangan baik dari kalangan intelek maupun orang awam, bahkan sering menjadi bahan perdebatan bagi sebagian kalangan. Keduanya memiliki keterkaitan dan hubungan yang kompleks walaupun merupakan dua unsur yang berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan relasinya.
Perkembangan dan penyebaran agama Islam di nusantara ini juga tidak terlepas akan pengaruh budaya dan adat istiadat di Indonesia. Agama Islam yang merupakan tuntunan hidup dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Allah SWT yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan bersifat mutlak tidak bisa di ubah-ubah karena tempat dan waktu. Sedangkan adat dan budaya adalah suatu kebiasaan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang sangat di pengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan serta dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.
proses pengislaman nusantara tidak terlepas dari faktor keharmonisan budaya dan agama. Penyebaran ajaran agama Islam di Indonesia salah satunya melalui pendekatan budaya, budaya juga membutuhkan agama sebagai sarana pelestariannya. Islam datang tidak serta-merta menghapus budaya yang dari awal sudah melekat di Indonesia kala itu, walaupun Sebagian budaya yang ada bertentangan dengan hukum Islam, tetapi Islam memfilterasi nilai-nilai dan norma budaya agar sesuai dengan ajaran agama Islam dan menggunakannya sebagai media dakwah.
Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di nusantara menggunakan metode pendekatan melalui kebudayaan yang telah melekat, seperti pengaplikasian ajaran Islam lewat pertunjukan wayang, gamelan, macam-macam sya'ir atau kidung dan lain-lain sehingga agama Islam memiliki tempat di hati masyarakat kala itu. Hal ini menunjukkan akan relasi kuat antara budaya dan agama yang telah mengakar sejak agama Islam datang.
Tradisi warisan Wali Songo dan ulama leluhur yang berkembang sampai sekarang di Indonesia seperti yasinan, tahlilan, mauludan, selametan, mitoni, pengajian, dan tradisi-tradisi yang merupakan pengaplikasian ajaran agama Islam di nusantara oleh sebagian kelompok dianggap sebagai bid'ah, mereka menolak akan tradisi dengan dalih hal itu tidak terdapat di zaman nabi.
Mengutip dari RM.id, bahwa bid'ah sering diartikan dan di salah pahami dengan perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW, tetapi dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam periode sesudah beliau wafat, padahal Perbuatan Bid'ah yang dilarang oleh nabi itu dibatasi pengertiannya dalam urusan penambahan atau pengurangan ibadah murni (mahdhah) seperti menambah atau mengurangi rakaat shalat fardhu, mengganti gerakan shalat dan lain-lain. Hukum bid'ah dinyatakan tegas dalam hadis Nabi yaitu: Kullu bid'atin dhalalah wa kullu dhalalatin fi al-nar (Setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu kelak ke Neraka) sebagai sesuatu yang menyesatkan.
Hadis dari kutipan di atas sering di jadikan dalih oleh sebagian kelompok yang menafsirkan bid'ah dengan memperluas pengertiannya sampai keluar dari konteks ibadah murni seperti mengaitkannya dengan ibadah muamalat (human relation) seperti menolak dan melarang tradisi syukuran, berjabat tangan sesudah shalat, istighosah, mauludan, peringatan hari besar Islam dan lain-lain dengan alasan hal tersebut tidak pernah di ajarkan oleh nabi, dan lebih parah nya mereka sampai mengkafirkan sesama umat muslim di nusantara ini bahkan menganggap bahwa budaya ialah ancaman yang mengotori eksistensi dan kesuciaan agama dengan dalih syirik, mistis, dan musyrik atau menyekutukan Allah SWT.
KH. Bisri Musthofa dalam kitab karangannya yang berjudul Azwaad Al Musthofawiyah (1956:14) menjelaskan bahwa menurut mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah, bid'ah yang sesat dan di tolak itu bid'ah yang mendorong kepada keburukan (bid'ah sayyiah). Menurut Imam Syafi'i bid'ah ada dua macam: Bid'ah hasanah (terpuji) dan bid'ah sayyiah (tercela). Pembahasan seputar bid'ah ini tidak keluar dari ibadah yang bersifat murni (mahdhah), jadi urusan sosial kemasyarakatan atau ibadah muamalah, di luar ibadah mahdhah seperti tradisi-tradisi Islam di nusantara tidak bisa dikaitkan dengan bid'ah.
Tradisi-tradisi Islam yang berkembang di nusantara seperti yang di sebutkan di atas merupakan buah tangan dari para Ulama terdahulu dalam penyebaran agama Islam sebagai upaya pengharmonisan agama dan budaya di Indonesia agar dapat mudah diterima di hati Masyarakat serta agar mereka tidak keluar dari ajaran-ajaran agama Islam melalui pendekatan budaya.
Dari pemaparan di atas, kita menyadari bahwa agama dan budaya, walaupun keduanya merupakan dua hal yang jauh berbeda, namun bukan berarti harus dibenturkan atau menolak salah satunya. Bahkan jika keduanya mampu bersinergi dengan baik maka akan saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain dan akan menghasilkan suatu karakteristik yang menjadi ciri khas dari persilangan tersebut. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang ideal karena menempatkan keduanya dalam posisi yang seimbang dan proporsional.
Penempatan proporsional seperti ini bisa kita lihat ketika awal mula Islam masuk ke Indonesia, dimana terjadi proses pengislaman budaya nusantara oleh Wali Songo yang masa itu sebagian besar masih bercorak agama Hindu dan Budha, dan diiringi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam sebagai pengaplikasian ajaran agama Islam di nusantara. Sehingga, keduanya melebur dan menyatu menjadi identitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara. Tradisi budaya Islam sebagai pengaplikasian Islam Nusantara adalah hasil dari akulturasi nilai-nilai agama dan budaya di Indonesia, dan merupakan budaya warisan leluhur bangsa, bukan suatu perbuatan bid'ah.