Lihat ke Halaman Asli

Adi Inggit Handoko

Seseorang penghamba media sosial, Hobi denger Radio tertarik dengan isu gender

LGBT dan Sikap Toleransi

Diperbarui: 1 Maret 2016   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Akhir-akhir ini gencar berita tentang LGBT di media, bahkan malah jadi tema debat terbuka di media massa. Dari berbagai sudut pandang sudah di kupas: Psikologi, Agama, Hukum, dan sampai ranah Hak Asasi manusia. Dari berbagai macam sudut pandang ini terkadang ditemukan pendapat bahwa LGBT adalah sesuatu yang salah, yang keliru, yang seharusnya segera mendapat penanganan. Akan tetapi tidak sedikit pula yang kemudian menyudutkan lantas menghakimi kelompok minoritas ini. bagi masyarakat awam, persoalan LGBT dipandang secara serampangan, sehingga tidak jarang bahwa LGBT mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari kelompok tertentu. Yang mentoleransi keberadaan LGBT, dianggap sebagai pendukung dan dianggap sebagai tidak jauh berbeda dengan kaum LGBT. Dalam tulisan saya, saya berada dalam posisi netral, yang tidak mendukung atau juga menolaknya.

 

Media Massa Vs LGBT: Over Ekspos

Maraknya pemberitaan tentang LGBT bisa jadi dipicu oleh pemerintah AS melegalkan LGBT di Negara tersebut. Sehingga menimbulkan reaksi besar bagi kelompok LGBT di belahan dunia. Kondisi demikian tentu saja jadi ajang bagi para pemburu berita untuk meliput dan memberitakannya kepada masyarakat. Posisi media dalam hal ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat. Masyarakat mau tidak mau akan disuguhi dengan liputan tentang kelompok LGBT. Kondisi demikian sudah tentu menjadi pemicu penggiringan opini publik. Misalnya saja, ketika kasus Rian pembunuh berantai dari Jombang muncul dipermukaan, media seolah olah ingin menguliti kehidupan pelaku. Belum lama ini terkait kasus mirna dan jesika Kumala Wongso media menyinggung tentang hubungan sejenis diantara keduanya.

Dari sudut pandang kelompok LGBT ketika media memunculkan isu hubungan sejenis, bisa jadi ini membuat keresahan bagi kelompok LGBT. Bagi kelompok yang homopobik atau orang tua yang khawatir terhadap buah hatinya “tertular” pemberitaan pun meresahkan. Mau tidak mau bahwa LGBT yang sudah bercitra negatif di mata masyarakat maka akan menambah catatan buruk bagi kelompok LGBT ini. belum lagi ketika media massa meliput tentang jumlah pengidap penyakit kelamin yang menurut penelitian penyumbang terbesar dari penyakit kelamin seperti HIV / AIDS adalah kelompok LGBT. Catatan buruk kemudian bertambah. Orientasi seksual seseorang yang sejatinya adalah ranah paling privat, ranah yang paling rahasia kini menjadi konsumsi publik. Misalnya saja kasus Indra Bekti dan Lalu Gagah Arsanova, media massa seolah-olah ingin memberitakan kasus ini berlomba-lomba memberitakan yang paling terupdate. Padahal dalam kasus Indra Bekti belum tentu kebenerannya, tapi masyarakat sudah terlanjur mengetahuinya. Entah memang keduanya terbukti LBGT atau bukan, namun masyarakat sudah terlanjur “menghakiminya”.

LGBT di media massa rasanya sudah menjadi jamak. Bahkan sebagian orang bisa saja menjadi apatis dengan LGBT yang tampil di media. Ketika pemerintah melarang adanya LGBT tapi pada kenyataannya media massa mengkonstruksinya menjadi lahan yang menguntungkan. Acara musik yang menggunakan host kemayu, feminin, atau bahkan menampilkan sang artis yang menggunakan fashion dan asesoris perempuan. Jika kondisi demikian yang ditampilkan oleh media, mau tidak mau pemirsa menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Apakah host kemayu, feminim tidak boleh berada dalam frame media massa? Jawabanya tentu saja boleh, asal tidak melanggar norma dan aturan karena pada dasarnya frekuensi media massa adalah frekuensi milik publik sehingga publik berhak mendapatkan sesuatu yang bermutu, yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum yang berlaku di suatu Negara.

Dalam kemajuan zaman, media massa tidak hanya media konvensional, kemajuan internet membuat cara berkomunikasi manusia berubah. Media sosial “dituduh” ikut berperan dalam mengkampanyekan kelompok LGBT. Bahkan dalam beberapa hal, media sosial dianggap sebagai “racun” yang mampu mendorong seseorang yang awalnya “normal” menjadi LGBT.  

Media sosial, seperti Facebook menjadi media sejuta umat, yang pada kenyataanya semua orang bebas menulis, bebas berkomentar dan bebas membagikan link-link terkait informasi LGBT. Perdebatan-perdebatan yang pada akhirnya tidak menemukan titik temu yang bijak yang terjadi di ruang virtual. Alhasil lagi-lagi media massa ikut berperan dalam “menumbuhkan” kebencian antar sesama manusia.

Keberadaan media massa ditengah masyarakat seharusnya mampu memberikan informasi yang seimbang yang tidak menimbulkan polemik ditengah-tengah masyarakat. Misalnya saja, memberikan informasi tentang LGBT yang bisa keluar dari kondisi LGBT dan kemudian bisa menjadi panutan masyarakat atau memberitakan prestasi LGBT dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak diluar sana LGBT yang berprestasi yang mampu membanggakan institusi dan Negara tapi tidak banyak diekspos oleh media. Jika porsi beritanya seimbang bisa jadi kebencian ditengah masyarakat bisa diminimalisir.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sejauh ini bisa dikatakan sudah menjalankan perannya. Tapi sejauh ini juga masih belum maksimal, belum mempertegas tentang Undang-Undang penyiaran, hanya sebatas menegur terkait dengan program yang dirasa  melanggar. Peran dan fungsi KPI inilah yang kemudian setidaknya bisa meredam pemberitaan LGBT di media massa, UU Penyiaran dan pers jangan menjadi tumpul.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline