Lihat ke Halaman Asli

Menggugah Kesadaran Geografi Generasi Z

Diperbarui: 31 Mei 2017   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menggugah Kesadaran Geografi Generasi Z


Oleh Adi Faridh*)


Merajut masa depan negeri ini tentu tak lepas dari ikhtiar mendidik generasi penerus bangsa. Desain pendidikan yang menumbuhkan kecintaan pada tanah air dan strategi pembelajaran yang menanamkan visi keindonesiaan perlu diarusutamakan.
Beraneka ragam sebutan indah bagi Indonesia seharusnya ditempatkan sebagai sebuah kebanggaan yang menggugah optimisme. Negeri bak mutu manikam, untaian zamrud khatulistiwa, dan negeri mega biodiversity adalah julukan penggugah asa bagi kejayaan Indonesia. Kalaupun ada stereotip yang berusaha menggerus kejayaan nusantara sebagai bangsa yang besar, semestinya kita tempatkan sebagai bayang suram masa lalu.
Sudah saatnya kita bangkit dari stigma bangsa kuli, kuli diantara bangsa, dan negeri seribu bencana. Termasuk pula fenomena cincin api pasifik yang rawan gempa dan dihantui letusan gunung api. Keduanya hanyalah fenomena geologi yang bisa kita hadapi dengan kesiapsiagaan. Kearifan lokal dan strategi mitigasi akan memotong siklus bencana menjadi karib yang tak lagi menyengsarakan.
Demikianlah persepsi positif kita terhadap kekayaan alam ini mesti digaungkan tanpa lelah. Lengah kita menyemai kesadaran geografi Indonesia pada generasi penerus, jeda itu akan dimanfaatkan oleh ancaman radikal pemecah belah persatuan.Bahkan marabahaya itu hadir tak kasat mata karena mennyeruak dari dunia maya. Ancaman dengan berbagai modus operandi canggih dan tak kasat mata, yang populer dengan sebutan proxy war juga perlu kita bendung.
Lebih dari satu dasa warsa lalu Thomas L. Friedman (2005) menengarai bahwa the world is flat. Di dunia yang datar atau rata, tapal batas negara kata Friedman akan sirna. Konvergensi teknologi sebagai jejaring akan membuat negara- negara di dunia menjadi terintegrasi dalam satu mata rantai. Saat-saat yang dinanti itu telah tiba. Hari ini dunia yang kita hadapi adalah hanya segenggaman tangan. Peranti teknologi informasi dan komunikasi yang canggih mengantarkan ujung jari kita menelusuri setiap sudut wilayah manapun di dunia dengan mudah.
Maka, lahirlah generasi yang dikenal sebagai generasi Z. Generasi yang terlahir pada 1995 sampai hari ini. Generasi yang sejak kecil sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih. Gaya hidup mereka berkarakter multitasking, artinya pada satu waktu generasi ini bisa mengaplikasikan sekaligus kegiatan dalam media sosial seperti ngechat, ngetweet, browsing melalui ponsel, headset, serta personal komputer.
Karakteristik dan kepribadian generasi ini cenderung menggiring anak untuk irit dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris, dan individualis. Sisi negatif lainnya adalah cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba instan, dan serba mudah, tidak sabaran, serta tidak menghargai proses. Dari tolok ukur kecerdasan intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan emosional mereka cederung tumpul. Bagaimana dengan kecerdasan geografi generasi Z?
 Kisah miris tentang tipisnya wawasan geografi generasi Z ini dirasakan langsung oleh penulis. Sebagai pengajar geografi, penulis melontarkan pertanyaan untuk menguji pengetahuan mereka tentang wilayah Indonesia. “Pada 9 Maret lalu di Indonesia terjadi fenomena alam yang luar biasa yaitu gerhana matahari total. Daerah yang paling lama dilintasi adalah Maba, tahukah kamu terletak di daerah manakah Maba itu?”Tak satu siswa pun dapat menjawab pertanyaan ini. Baiklah, mungkin memang terlampau asing nama daerah di Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara ini bagi generasi yang kurang piknik.
Penulis mencoba mengulang dengan taraf pertanyaan yang lebih mudah untuk menguji wawasan geografi regional provinsi. “Tahukah kamu bahwa pulau yang mempunyai kadar oksigen terbaik di dunia itu ada di Jawa Timur? Pulau manakah itu?” sekali lagi generasi yang akrab dengan gadget ini gagap dengan jawaban serentak ‘tidak tahu’.Generasi Z yang akrab dengan mesin pencari google ini tak hirau dengan kondisi lingkungan yang tak berpengaruh langsung pada dirinya.Terhadap Pulau Gili Iyang terletak di gugusan Kepulauan Madura yang termasuk Kabupaten Sumenep ini pun mereka acuh.
Sekali lagi penulis memakluminya dengan asumsi bahwa mungkin informasi geografi tentang Gili Iyang ini masih relatif baru. Pertanyaan berikutnya adalah berkorelasi langsung dengan fenomena geografi di wilayah tempat tinggalnya.Regional tersempit yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-harinya.“Pada awal maret lalu bencana banjir merendam 5000 rumah di Kabupaten Lamongan.Sebutkan tujuh kecamatan yang dilanda banjir? Generasi yang fasih teknologi ini lagi-lagi gagal paham. Mengurutkan nama kecamatan mulai dari tempat di mana Ia tinggal di sepanjang aliran Bengawan Solo dan Bengawan Jero pun tak lengket di wawasan geografinya.
Menarik untuk dicermati pandangan dari Sayidiman Suryoprojo, Mantan Gubernur Lemhanas. Kondisi kaum muda yang tak mengenal daerah dan negerinya sendiri ini karena kurangnya pelajaran tentang ilmu bumi atau geografi di sekolah. Menjadi pertanyaan, mengapa justru dalam alam Indonesia merdeka jauh lebih sedikit diberikan perhatian kepada pelajaran geografi dibandingkan masa penjajahan? Kurangnya jam pelajaran geografi ini pasti berpengaruh terhadap pengetahuan dan pengenalan akan tanah airnya sendiri.
Sudah sepatutnya para perancang dan pelaksana pendidikan perlu menjjadikan kerdilnya wawasan geografi generasi Z ini sebagai ancaman bagi menipisnya rasa cinta tanah air. Seberapa pentingkah wawasan geografi itu? Wawasan geografi dapat menjadi tahap awal untuk memupuk kesadaran dan kecintaan pada wilayah dan daerahnya. Sadar, bangga, dan menjaga kekayaan alam dan kelestarian lingkungan.
Jika generasi Z terus dibiarkan dalam keterpurukan rendahnya wawasan geografinya, bukan tidak mungkin kecintaan mereka akan tanah airnya tergantikan oleh kebanggaan dan obsesi pada kemajuan negara lain. Ancaman itu menjadi nyata karena anak muda sekarang imajinasinya sudah terisi oleh kemajuan kawasan luar negeri. Boleh jadi mereka yang tak mengenal wilayah di daerahnya sendiri lebih akrab dengan wilayah di luar negeri. Semoga kondisi ini tidak terus berlanjut.
*) Penulis adalah Guru Geografi SMAN 1 Karangbinangun Lamongan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline