[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Photo Source:limkokwing.net "][/caption] Suatu ketika anda mungkin pernah mengalami turun hujan dan berada di sebuah lantai parkir yang bertingkat, lobby area atau mungkin balkon apartemen/hotel dan kemudian melihat sekitar anda ada genangan air. Karena hujan, air tergenang itu sudah biasa tapi bagaimana jika itu berada di area berlantai beton? Apakah anda memiliki pertanyaan lain selain ada hujan ada air? Benar, pertanyaan besar pertama adalah kenapa ada genangan? dimana saluran airnya? Apakah mampet? Pertanyaan biasa dan mungkin sambil lalu, sampai anda terkejut betapa kritisnya diri anda karena menemukan akar permasalahannya. Balkon anda tergenang karena drainasenya lebih tinggi dari lantai itu sendiri... Bangunan tinggi, bertingkat dan berlantai beton tentu dibangun oleh profesional berpendidikan tinggi dengan gelar Insinyur atau Sarjana Teknik atau sejenisnya. Lalu untuk apa mereka belajar ke perguruan tinggi sampai bertahun tahun dengan biaya mahal tapi membuat saluran air di balkon saja salah? Sementara kita tahu seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah hujan dan kemarau. Artinya, setiap bangunan harus memperhatikan kemana air mengalir ... Saking konyolnya, anda pasti berpikir bahwa mungkin arsitek dan pelaksana lapangan (mandor) bangunan itu adalah Sarjana tukang Insinyur (meminjam istilah Si Doel Anak Sekolahan) tapi jurusan Tata Boga...!!! Anda semakin terkejut dengan pemikiran anda yang tidak heran kenapa Jakarta selalu banjir dengan hujan 2 jam di Bogor, padahal banyak ahli berkumpul tapi tidak mampu melihat kemana air akan mengalir jika pantai dibangun lebih tinggi daripada jantung kota itu sendiri? ====== Itu adalah gambaran sekilas hasil pendidikan Indonesia di satu sisi dan bagaimana dunia sekolah Indonesia dijalankan melalui kurikulumnya (disisi lain). Kurikulum yang mantap dan ideal tidak memiliki standar yang sama dari jaman Aristoteles hingga kini. Karena menurut penulis, bukan kurikulum yang membuat seorang Habibie menjadi seperti apa yang kita kenal, bukan kurikulum pula yang membuat negara negara Skandinavia dan Israel menjadi seperti sekarang. Tapi apa yang mendukung kurikulum itu sendiri... Tapi jika kurikulum yang dimaksud adalah standar ajar secara nasional maka seyogyanya kurikulum itu dibuat 'simple'. Kemudian standar ajar nasional dibarengi / diimbangi dengan penjurusan oleh sekolah yang bersangkutan untuk menghasilkan lulusan yang mengara pada profesionalisme dan keahlian bidang tertentu sesuai pilihan atau minat serta cita cita masing masing. Meminjam istilah kampanye Jokowi, "yang penting adalah sistem". Sistem yang mendukung semua kurikulum yang diributkan selama ini jauh lebih penting daripada kurikulum itu sendiri. Sistem yang kemudian bisa melihat kemana arah yang ingin dituju seorang siswa, bakat mereka dan ingin menjadi apa mereka kelak. Dengan sistem yang ada sekarang, seorang siswa brillian dalam bidang tertentu bisa terdampar di lapangan kerja yang bukan tempat dimana seharusnya ia berada. Ambil contoh, seorang lulusan Sekolah Kejuruan bidang Teknologi Perkapalan di Belawan, Sumatera Utara, kebingungan dengan kemana ia harus bekerja. Tentu ia punya keahlian dibidang yang spesifik dimana ia belajar selama ini lalu kita kemudian akan sangat terkejut demi melihat dia bekerja sebagai kasir di toko nirlaba. Sementara kita masih mengeluh karena membutuhkan banyak pekerja untuk membangun Kapal Perang produksi PT. PAL atau galangan kapal lain misalnya. Bukankah itu contoh menarik lain seperti Insinyur jurusan Tata Boga tadi? Kurikulum pendidikan Indonesia hanya membahas hal-hal yang berupa mata pelajaran yang wajib atau tidak wajib atau lainnya yang justru tidak berhubungan dengan bagaimana seorang lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi agar mudah terserap pasar (dunia usaha). Sementara dunia usaha juga tidak jarang mencari dan mempekerjakan sumber daya manusia (SDM) sesuai keahlian mereka dengan mencari ke sumber lulusan itu sendiri (Sekolah/Universitas). Lalu sistem seperti apa yang dibutuhkan Indonesia selain kurikulum yang tidak pernah mantap (selalu berubah ubah) itu? Pertama, Pemerintah seharusnya mendorong sekolah memperbanyak sumber referensi perusahaan yang menjadi target penyaluran lulusan mereka. Pemerintah menyediakan konsultan pendidikan termasuk guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) yang bisa melihat dan mengarahkan kemana seorang siswa yang belum tahu "siapa dirinya" harus fokus, memilih pelajaran yang berguna untuk karirnya kelak dan pelajaran pendukung alternatif jika siswa itu gagal mendapatkan tujuannya. (Misalnya, seorang siswa tidak perlu ikut belajar menyulam jika kelak ia ingin kerja sebagai teknisi di bengkel). Penyediaan konsultan pendidikan ini tidak lebih mahal daripada biaya cetak Lembar Kerja Siswa (LKS) yang justru seperti pemborosan yang mubazir cenderung mudharat. Lagipula, seperti kasus lulusan Sekolah Kejuruan diatas, kebanyakan anak Indonesia tidak tahu kemana ia harus melamar kerja dengan bekal yang dimiliki. Selain faktor tidak adanya bimbingan dan konsultan, juga karena mereka kebanyakan masih belum cukup mampu menentukan pilihan secara mandiri (karena faktor pengalaman dan usia). Sementara faktor relasi dan referensi juga masih dominan oleh dunia kerja dalam merekrut SDM-nya. Setiap Guru dan Sekolah bertanggung jawab pada kualitas muridnya. Jika lulusan sekolah tidak diterima di lapangan kerja, maka itu harusnya menjadi pertimbangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Dengan ini, Sekolah harus tetap bertanggung jawab dari pembentukan SDM sampai kualitas yang dihasilkannya. (Anda harus mempertanyakan kualitas sekolah jika seorang lulusannya tidak bisa menulis dengan baik dan benar bukan?). Ini ibarat menghasilkan produk, kemudian mengawasi produk itu dari hulu sampai hilir agar tidak terjadi keluhan dari pelanggan. Perusahaan, Sistem yang diperlukan perusahaan adalah bagaimana mereka menjamin ketersediaan SDM untuk mendukung kelancaran perusahaan mereka. Mereka perlu menyediakan beasiswa. Dengan beasiswa, perusahaan sedang membantu dirinya sendiri untuk mendapatkan tenaga kera yang dibutuhkan. Perusahaan tidak bisa hanya sekedar menerima lulusan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan tanpa membantu mengarahkan calon SDM mereka agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Misalnya, lulusan sekolah kejuruan terdekat dengan perusahaan itu berdiri perlu ahli dibidang informatika, sementara setiap sekolah belum tentu punya komputer yang cukup tersedia, maka beasiswa akan menjadi jalan keluar meskipun sang SDM tidak langsung dapat bekerja, tapi ada jaminan bahwa perusahaan kelak akan mendapat SDM bidang yang dibutuhkan secara berkelanjutan. Kesimpulannya, -Pemerintah mengadakan Kurikulum yang medasar. Perlu dicatat, Kurikulum Indonesia tidaklah lebih buruk dari Israel atau Norwegia sekalipun, tapi sistem pendukungnyalah yang jauh tertinggal. -Sekolah mempertajam kurikulum itu dengan spesifikasi. Misalnya, mengadakan pelajaran Bahasa Inggris, maka diperlukan klub Bahasa Inggris yang memungkinkan para murid memiliki ruang interaksi menggunakan bahasa itu (selain menyediakan Native Speaker kalau mampu). Konsultan karir yang memadai. Artinya, jika pihak pemerintah dan sekolah menyediakan 20 mata pelajaran, seorang siswa tidak perlu mempelajari semua yang ada jika dianggap tidak dibutuhkan kelak di dunia kerja. Konsultan ini juga menjadi bagian yang ikut memberi masukan atau mendampingi siswa selama masih belajar. Semacam dosen pembimbing. -Perusahaan, menjadi mitra komunikasi sekolah sekolah yang ada. Dengan sistem yang baik, maka kurikulum hanya bagian kecil dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan yang berkualitas terletak pada kemampuan menghasilkan SDM bermutu tanpa berpatokan pada hasil ujian yang terkadang hanya diatas kertas tapi tidak di dunia nyata. Semoga bermanfaat, . . =SachsTM=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H