Lihat ke Halaman Asli

Adie Sachs

TERVERIFIKASI

Hanya Itu

BI Tidak Akui Bitcoin, Juga Tak Larang, Gamang?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heboh mata uang digital yang sempat membuat publik bertanya-tanya dan menunggu keputusan otoritas keuangan Bank Indonesia (BI), terjawab sudah. Intinya, BI menegaskan bahwa mata uang digital seperti bitcoin dan virtual currency (VC) lainnya yang tengah booming setahun terakhir bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Dalam hal ini, BI merujuk pada Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. BI tidak dengan tegas melarang peredaran VC di Indonesia tetapi mereka hanya menghimbau kepada masyarakat agar berhat-hati terhadap Bitcoin dan VC lainnya. Hal ini terkait segala risiko terkait kepemilikan atau penggunaan Bitcoin ditanggung sendiri oleh mereka yang memiliki atau menggunakannya.

Meskipun tidak diakui sebagai mata uang di Indonesia, para pemilik Bitcoin tidak perlu resah dengan harta virtualnya itu. Karena dengan demikian bitcoin juga bisa masuk dan dikategorikan sebagai komoditas atau instrumen investasi seperti emas. Rupiah adalah alat pembayaran resmi di Indonesia namun Dolar AS dan emas juga bisa eksis dan berharga, sehingga Bitcoin ini bisa dianggap seperti komoditas seperti emas namun peredarannya tidak diatur oleh BI. Sebagai instrumen investasi, komoditas Bitcoin nantinya dapat meniru emas untuk bertransaksi dengan menggunakan sistem barter.

Langkah BI dalam menyikapi mata uang maya ini memang tidak setegas seperti yang dilakukan oleh pemerintah China. BTC China seperti dilansir USA Today, Jumat (19/12/2013), melaporkan bahwa akibat dari pelarangan tersebut, untuk sementara penggunaan mata uang Yuan dalam transaksi Bitcoin tidak dapat digunakan. People's Bank of China ( BI-nya Negeri Tirai Bambu) menyebutkan jika Bitcoin tidak memiliki status hukum yang jelas dan terlarang untuk diperjual-belikan.

Dampak pelarangan oleh PBC menekan telak nilai tukar Bitcoin hingga merosot secara drastis. Pada akhir November 2013, nilai tukar Bitcoin menyentuh rekor di atas USD 1.100 perkepingnya. Hingga rilis USA Today (19/12/13) nilai tukar Bitcon menurun hingga 18% menjadi atau 'hanya' USD 558 dan dijual dengan nilai terendah USD 422,50 perkeping. Apa yang dilakukan oleh China juga dilakukan berapa negara di Eropa seperti Norwegia dan Denmark.

Mata uang maya seperti Bitcoin dan lainnya adalah uang yang digunakan sebagai metode pembayaran digital dan memerlukan software khusus untuk proses transaksi jual-beli. Software transaksi Bitcoin pertama kali muncul pada tahun 2009 yang dikembangkan oleh Satoshi Nakamoto. Sejak itu hingga kini, banyak konsumen yang mencoba peruntungan dalam melakukan transaksi uang virtual. Bitcoin sendiri dianggap mampu memberikan kemudahan akses bagi para calon investor dan kompatibel dengan semua jenis mata uang di dunia. Tidak terkecuali dengan Indonesia dimana seperti biasa, kita adalah pengguna yang suka latah.

Sayangnya mata uang yang konon ditemukan oleh Satoshi Nakamoto tidak berbadan hukum. Inilah polemik bagi para pelaku ekonomi termasuk pengamat, karena pemerintah tidak bertanggung jawab atas berbagai transaksi yang dilakukan. Meski demikian, bitcoin dikenal sebagai alat tukar yang tahan terhadap pemalsuan.

Jika anda bersikeras ingin memiliki uang maya seperti Bitcoin ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui dan jadi pertimbangan seperti, aspek keamanan. Mata uang virtual ini cukup aman karena sulit dipalsukan. Hal ini karena aturan kriptografi yang diterapkan pada bitcoin membuat para pemiliknya terhindar dari risiko yang sama.

Uang virtual ini juga boleh dianggap sangat berorientasi global dan diterima tanpa mengenal batas negara. Diklaim dapat menekan atau melindungi laju inflasi yang berlebih, hingga bisa dianggap sebagai bentuk tabungan versi modern yang tidak mengenal birokrasi rumit ala perbankan.

Tetapi, keunggulan seperti diatas juga bukan hal yang mutlak, karena biasanya ada kemudahan ada pula resiko yang menanti.

Resiko pada uang maya ini terletak pada masih terbatasnya pengguna berupa korporasi atau produk yang menggunakannya sebagai alat pembayaran. Bahkan resiko paling besar ada pada sistem yang seharusnya mendukung keberadaannya. Seperti resiko kehilangan seketika karena sifatnya yang digital, maka harus disimpan dalam bentuk digital pula. Pemilik biasa menyebut sebagai wallet file.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline