Asia Tenggara masih menjadi lahan subur bagi perkembangan praktek terorisme. Menurut sumber Wikileaks, percaya atau tidak, banyak kawat diplomatik antara kedutaan AS di Jakarta, Manila dan Singapura menuju Washington DC yang bukan hanya soal "lelucon" kasar tentang pemerintahan lokal tetapi juga soal banyaknya Intelijen asing yang bekerja di kawasan ekonomi ini.
Ketika Julian Assange, dengan para pengagumnya sebagai Anonymous sedang mencoba membuat partai Wikileaks, bocoran lain diusahakan terbit adalah seputar terorisme dan penanganannya di ASEAN.
Aksi terakhir yang mengejutkan adalah ketika seorang warga Malaysia ditembak mati di Davao, Philipina. Tersangka dilumpuhkan ketika akan beraksi dan di identifikasi sebagai Mohammad Noor Fikrie bin Abdul Kahar, yang berasal dari Kedah, Malaysia. Noor Fikrie diduga sebagai anggota kelompok Jamaah Islamiyah (JI)
Tentu isi Wikileaks belum termasuk laporan terbaru tentang kejadian dua hari lalu itu, namun adanya kawat seputar terorisme di Philipina dan usaha tanpa kenal lelah Densus 88 di Indonesia telah menjadi perhatian utama Washington.
Bukan isapan jempol belaka mengenai berita miring tentang peran Malaysia dalam berbagai aksi teror di beberapa negara tetangganya. Bukan bermaksud meng-kambing-hitamkan negeri itu juga, melainkan sebutan "gudang sekolah hitam" oleh Pentagon telah membuat kita terperangah dengan cara Gedung Putih dalam memberi gelar pada bekas jajahan sekutunya ( Inggris) itu.
Kecurigaan yang paling menonjolkan peran Malaysia tentu soal sikap Kuala Lumpur yang seolah menutup mata pada meningkatnya aksi pemberontakan di Thailand Selatan. Termasuk pula tingkat kepercayaan para diplomat Siam akan tetangganya itu yang tidak pernah menuju titik yang menggembirakan.
Dan sungguh tidak enak didengar ketika terorisme yang mendompleng Islam di asia tenggara, termasuk pemberontakan MILF dan Thailand selatan selalu dikaitkan dengan peran "belakang" Malaysia.
Yang paling kita tidak suka dari terorisme adalah kekejian mereka yang tidak memandang waktu demi tujuan yang mereka kehendaki. Apalagi saat ini, Philipina sedang dalam titik paling lemahnya mengingat hantaman topan Bopha yang sudah memporak-porandakan negeri itu.
Bisa dibayangkan, bagaimana menderitanya 80-ribu pengungsi, sementara pemerintahnya masih harus menghadapi ancaman terorisme dan kemungkinan aksi pemberontakan disaat yang bersamaan.
Densus 88 juga akan selalu waspada pada gerakan terorisme di tanah air, namun mereka masih juga menghadapi kecurigaan asing seputar HAM dan kemungkinan digunakan untuk menghabisi lawan politik pemerintah. Untunglah selama ini Densus 88 masih membuktikan bahwa mereka adalah satuan elit yang bukan untuk kepentingan kelompok politik. Soal HAM, seperti biasa hanyalah senjata asing untuk mempersempit gerak pemimpin nasional agar tidak "jauh-jauh" dari hegemoni Barat.
Agen asing yang bekerja di Asia Tenggara, selain untuk memastikan "kiblat" politik yang berafiliasi dengan Demokrasi ala Barat, ada juga untuk pengaruh ekonomi dan penyelidikan kekuatan persenjataan, termasuk pula diantaranya untuk menghambat kekuatan ektrimis yang mengatas-namakan Islam.