Lihat ke Halaman Asli

Adie Sachs

TERVERIFIKASI

Hanya Itu

Berjalan di Negeri Jajahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13524978211362337079

[caption id="attachment_215573" align="aligncenter" width="240" caption="Monas/Koleksi Pribadi"][/caption] Selasa kemarin saya berkesempatan berjalan kaki menikmati pedestrian Ibukota. Dari sepanjang Sudirman hingga Thamrin dan terakhir.... Monas. Simbol kota JAkarta yang terkenal itu dan Mimpi Indonesia. Indonesian Dream??? Tidak juga... bahkan mimpi - mimpi itu pun masih dibayangi dan di kontrol negara asing. Bukan salah saya jika selalu di perdengarkan cerita perjuangan hanya menjelang 10 November setiap tahunnya. Bukan keinginan saya juga jika nasionalisme hanya berdengung di hari - hari peringatan Sumpah Pemuda. Dan saya juga tidak begitu senang ketika kegembiraan menjadi warga Indonesia hanya ada ketika detik detik Proklamasi di Upacarakan. Tetapi ... semua cerita kepahlawanan, pentingnya nasionalisme dan kebanggaan menjadi Indonesia sungguh omong kosong belaka ketika perjalanan pendek dari Sudirman - Monas yang nyaman itu berakhir menjadi sebuah rasa keterhinaan. Indahnya Api emas Monas pun menjadi api dendam merah membara... ======= Sebagai orang daerah yang jarang datang ke Ibukota, dan jarang pula menikmati pedestrian dan kampung2 kecil di kota itu sungguh suatu kesempatan yang langka dapat berjalan dan berlari kecil dengan riang menikmati suasana yang mendukung. Dari Merdeka Barat yang dipenuhi bangunan kokoh pendukung pemeritahan...terus ke Merdeka Utara yang megah dengan istana negara putih berhalaman luas serta gedung raksasa tempat mencari keadilan terakhir alias Mahkamah Agung... Selanjutnya Stasiun utama jantung Ibukita Gambir dan terakhir ... menuju Merdeka Selatan. Disinilah masalah memalukan itu terjadi... Saya tidak diperbolehkan melewati jalan yang ada tanda kedutaan AS. Saya ngotot bahwa saya orang baik-baik dan tidak berniat mengebom tempat itu, namun tidak digubris oleh petugas yang sepertinya orang Indonesia asli. Saya disuruh menyeberang lagi jika ingin kearah gedung BI. Bukankah itu suatu pelecehan? Saya dan mungkin setiap orang yang akan lewat kedubes itu tidak boleh menginjak tanah yang dengan susah payah di merdekakan oleh para moyang Indonesia. Kedutaan itu pun letaknya menghadap ke Istana seolah ingin menegaskan kalau pengendali Negeri ini di awasi oleh mereka. Jika saya masuk ke kantor kedutaan sih memang tidak boleh jika tidak punya paspor sesuai ketentuan diplomasi Internasional... tapi ini kan trotoar yang dibangun dari pajak rakyat sendiri. Kenapa tidak boleh? Buktinya lewat depan kedutaan Jepang dan Jerman boleh :( padahal sama2 trotoar. ---- Setahu saya di Bunderan HI kedutaan Inggris juga di istimewakan .. jalan yang sudah sempit semakin sempit dengan pembatas yang berlebihan agar orang lewat tidak mendekati tembok perwakilan negeri Elisabeth itu. +++++ Sekali kalinya punya kesempatan menikmati Ibukota malah jadinya berakhir dengan rasa kesal. Ternyata kita masih dijajah... Grrrr... +++++ Akhirnya saya balik lagi ke teman2 di acara grand opening sebuah toko High End di Plaza Indonesia, dengan wajah tidak menyenangkan alias BeTe :P sambil merenung... Kenapa tidak boleh menginjak tanah airku sendiri??? dan masih berpikir... Sejauh manakah Indonesian Dream??? Kalau saya jadi presiden ,,, saya pastikan Kedutaan AS harus dipindahkan dari Merdeka Selatan... Benar2 tidak menyenangkan hiksss... =SachsTM=

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline