Lihat ke Halaman Asli

Adie Sachs

TERVERIFIKASI

Hanya Itu

Risma Harus Belajar Berterima Kasih Atau Malu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_296862" align="aligncenter" width="546" caption="Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Warta Kota/Henry Lopulalan)"][/caption]

Joko Widodo dan Tri Rismaharini adalah senjata utama lawan lawan politik PDIP menghadapi pemilu mendatang. Meski keduanya dianggap sebagai kader emas di kandang banteng, bukan berarti pihak lawan tidak bisa memanfaatkan keberadaan mereka. Apa yang menimpa PDIP kini adalah repetisi dari keadaan mereka sepuluh dan lima tahun lalu.

Anda tentu belum lupa bagaimana PDIP besutan Megawati Soekarnoputri ketika berhasil digembosi dari dalam oleh Laksamana Sukardi dan kawan kawan. Atau hengkangnya sejumlah politisi daerah kawakan pasca pemilu 2009 yang tergiur kekuasaan seperti Gamawan Fauzi, Sinyo Sarundajang atau Bibit Waluyo.

Kalau boleh diupamakan, Jokowi dan Bu Risma itu seperti Lionel Messi dan Neymar dalam dunia sepakbola. Mereka menjadi rebutan dan biasanya setiap jendela transfer dibuka, beberapa klub kaya raya akan menempatkan keduanya dalam prioritas awal sembari memantau pergerakan klub asal dan pesaing yang juga tertarik. Tapi, itu kan hanya perumpamaan dengan kondisi yang jauh berbeda kalau ditelisik lebih dalam karena padanan dunia politik bukanlah arena sportifitas.

Hanya saja, pembaca yang budiman dan budiwati pasti mahfum jika intrik dan plot dunia politik juga bisa terjadi dalam olahraga. Kemungkinannya sangat kecil bahkan nyaris tertutup, karena aturan yang jelas dan sportif. Kita tidak bisa bayangkan seorang Messi atau Neymar dikondisikan oleh Real Madrid sedemikian rupa agar pindah dari Camp Nou, seperti kasus Luis Figo atau Ronaldo da Lima.

Inti perumpamaan diatas hanya kondisi "Rebutan" saja, tidak lebih.

Kembali ke topik.

Dua minggu terakhir, suara kelompok yang menamakan diri Pro Jokowi (Projo) bersuara lantang demi mendukung pencapresan Jokowi. Projo juga mengaku bagian dari PDIP, partai yang menjadi naungan Jokowi, sekaligus mendesak Ketua Umumnya agar buru buru mengumumkan Jokowi sebagai Capres. Jika tidak dilakukan, maka Projo mengancam akan menggembosi PDIP dan Megawati.

Apa yang dilakukan Projo sungguh tidak beretika dan terkesan dangkal. Di satu sisi mereka mengaku tidak mencampuri urusan proses politik PDIP tetapi mengaku dari dalam partai, sekaligus memaksakan strategi politik pada seorang pimpinan partai. Disisi lain, Projo tidak sanggup menjelaskan kenapa mereka begitu agresif dan ngotot memaksakan kehendak sementara mereka tidak menjelaskan agenda dibelakangnya.

Projo membentuk dirinya sebagai kelompok yang memecah konsentrasi petinggi PDIP dalam konsolidasi menghadapi pemilu nanti. Keberadaan mereka hanya mengesahkan ketidaksabaran lawan lawan politik PDIP dalam mencari tahu segera siapa jagoan dari kandang Banteng yang harus mereka hadapi nanti. Hal ini bersinergi dengan kepentingan penumpang gelap yang mencoba menjadi parasit bagi Jokowi, jikalau kelak dia benar jadi capres dan kemungkinan terpilih.

Ada potensi konfrontasi yang diinginkan Projo dengan PDIP, dan jika mereka berhasil, selanjutnya bisa berujung pada konflik yang tujuannya merusak citra Megawati. Apalagi masih banyak yang percaya bahwa Mega masih berambisi jadi RI - 1, sementara mereka lupa bahwa tanggung jawab Mega bukan hanya mencapreskan seseorang, tetapi memastikan kader kader PDIP mendapat kursi di parlemen. Jika beruntung dengan konflik yang muncul, Projo akan membuat Jokowi mendirikan partai sendiri atau hengkang ke partai lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline