Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Q.S. Al-Ankaabut: 43)
Hidup akan terus berjalan. Bagi siapa yang teguh menjalani kehidupan maka ia akan selamat, baik di dunia maupun akhirat. Siapa-siapa yang menjalani hidup sambil belajar, maka ia tidak akan tergilas oleh zaman. Belajar sepanjang hayat. Menuntut ilmu dari buaian sampai liang lahat.
Ilmu didapatkan tentu dari belajar. Dari proses belajar itu terjadilah proses pembelajaran. Dari proses pembelajaran itu, tentu pada akhirnya kita akan memahami dan paham terhadap apa-apa yang kita pelajari. Lalu dari mana kita harus belajar? Tentu bisa dibilang dari manapun juga. Dari yang sifatnya formal, seperti belajar dari sekolahan sampai perguruan tinggi maupun belajar non formal, atau pembelajaran yang bisa kita dapatkan dari memahami alam atau kehidupan.
Dengan memiliki ilmu, tentu kita dapat tumbuh seperti saat ini. Orang tua kita memberikan teladan, mengasuh kita semenjak kita bayi, menuntun kita dengan sabar ketika belajar berjalan, tentu dengan ilmu yang mereka miliki. Dengan ilmu hidup akan lebih mudah. Semua ada ilmunya sendiri. Kalau kita pernah mempelajari filsafat, banyak sekali cabang ilmu menurut pandangan filsafat, seperti epistemologi, ontologi, etika, estetika, dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini saya mencoba menyederhanakan apa yang akan dibahas, karena bagaimanapun saya bukan seorang ahli filsafat.
Satu ayat dari Al-Qur'an Surat Al-Ankaabut di atas menyiratkan pentingnya seorang manusia untuk menuntut ilmu, karena hanya dengan ilmulah kita dapat memahami segala sesuatu. Dari hal yang terkecil saja, membaca dan menulis, ilmunya kita dapatkan dari guru-guru sekolah kita. Kita dapat hafal alif ba ta, dan pintar mengaji adalah hasil didikan guru mengaji kita, baik di sekolah maupun di masjid yang dekat dengan tempat tinggal kita. Hampir semua yang ada di sekitar kita diwujudkan oleh penggalian akan ilmu-ilmu tertentu.
Ketika menjelang akhir bulan, kita memandang kalender untuk memastikan apakah sudah dekat dengan tanggal gajian, nah penanggalan diciptakan oleh ilmu. Kita belanja di pasar melakukan transaksi jual beli yang melibatkan hitungan, itu kita dapatkan karena kita belajar ilmu menghitung, matematika. Kita belajar menulis puisi yang bagus, dengan sebelumnya membaca karya-karya penyair yang sudah terkenal, buku-buku tentang menulis puisi, tentu itu didasari oleh ilmu.
Bisa kita bayangkan kalau kita tidak hidup dibarengi dengan ilmu. Mungkin sampai saat ini kita masih memasak di atas tungku dengan kayu bakar sebagai bahannya, bukan dengan kompor gas atau kompor listrik. Atau ketika kita bepergian mungkin kita masih mengandalkan tunggangan seperti kuda atau keledai, bukannya naik sepeda motor atau mobil. Begitu mudahnya kita menjalani kehidupan ketika hidup berdasarkan ilmu.
Lalu apakah ilmu hanya sebatas yang kita pelajari dari mata pelajaran dan mata kuliah yang didapatkan dari guru dan dosen kita? Tentu tidak. Acapkali sebenarnya ilmu kita dapatkan dari ranah yang lain. Dari alam misalnya. Atau dari pepatah-pepatah yang kita dapatkan dari orang yang lebih tua dari kita.
Acap kali kita menemukan ilmu yang sesungguhnya mengenai hidup dan kehidupan justru dari keseharian kita, dari mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Jika di bangku sekolah kita mendapatkan ilmu yang tersurat, tapi dari keseharian kita ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu-ilmu yang tersirat, yang acapkali membuat kita lebih tersadarkan akan arti kehidupan yang sebenarnya.
Sekadar memberikan contoh, acapkali kita kurang bersyukur terhadap kehidupan yang kita jalani. Kita sudah punya sepeda motor dan rumah sederhana untuk ditinggali, tapi masih menginginkan untuk punya mobil, punya rumah yang lebih besar lebih mewah. Bagus sebetulnya, membuat kita termotivasi untuk maju dan lebih baik lagi dalam menjalani serta mengubah kehidupan menjadi lebih baik, selama kita berusaha dalam koridor-koridor yang seharusnya, tidak lantas menghampiri celah-celah jalan cepat seperti korupsi.
Hanya saja, sekali-kali kita perlu juga melihat ke "bawah", bahwa ternyata kita sebetulnya lebih beruntung dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang masih bermukim di bawah kolong jembatan, hanya makan satu kali sehari, dan mungkin bermimpi juga ingin seperti kita.