Lihat ke Halaman Asli

Membangun Kembali Partai Sosialis Indonesia adalah Kewajiban Sejarah

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggapan tulisan M. Dawam Rahardjo:

“MUNGKINKAH MEMBANGUN KEMBALI

PARTAI SOSIALIS INDONESIA?”

http://ramchesmerdeka.blogspot.com/2013/01/mungkinkah-membangun-kembali-partai.html

Oleh Adie Marzuki*

Tulisan ini dibuat dalam rangka mempertegas poin-poin yang terkandung dalam pertanyaan retoris M. Dawam Rahardjo, dengan mengangkat sudut pandang yang berbeda, berbasis penelitian sejarah serta kajian sosialisme dalam perspektif umum.

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didirikan, yang secara resmi dicantumkan dalam konstitusi negara sebagai kontrak sosial institusi negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi, memajukan, mensejahterakan, dan mencerdaskan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi tersebut untuk menggunakan suatu kendaraan yang terdiri dari gerbong berisikan konsep sosial ekonomi yang ditarik oleh lokomotif politik kerakyatan. Dalam perspektif terminologis, kerakyatan di sini antara lain mengandung makna; tujuan mengangkat nasib, martabat dan harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat, sebagai penegasan bahwa format yang paling ideal bagi karakteristik dan psikografis populasi Indonesia yang sangat banyak, dengan kekayaan sosio-diversifikasi dan rentang wawasan serta pendidikan yang masih terlalu lebar, adalah bentuk yang berpegang pada asas persamaan derajat manusia, tanpa menafikan adanya kesenjangan pemahaman dalam masyarakat.

Umumnya orang lebih nyaman dengan suatu bentuk demokrasi, yang definisi populistiknya adalah sebuah sistem pemerintahan  ”dari, oleh, dan untuk rakyat”, walaupun dalam sejarah manusia, bisa dikatakan pengertian demokrasi demikian tidak akan pernah ada. Namun, fakta empiris memperlihatkan implementasi terminologi kerakyatan, yang lebih menekankan kepada “kepentingan rakyat” ketimbang “suara rakyat” dengan sistem perwakilan untuk permusyawaratan, lebih ideal dalam menghindari terjadinya kombinasi dari apa yang disebut William Case “pseudo-democracy”. Dalam konteks tersebut, dapat dipersepsikan bahwa sosialisme kerakyatan adalah perumusan sebuah sistem pencapaian tujuan bernegara yang disesuaikan dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi, serta selaras dengan kondisi obyektif maupun situasi subyektif di negeri ini. Dalam hal ini memperlihatkan visi jauh kedepan dari para perumus ideologi tersebut, dan sekaligus memperlihatkan pemahaman yang mendalam akan masyarakat Indonesia.

Dengan mencermati dan memahami substansi sosialisme kerakyatan, mengarahkan pemahaman bahwa mengusung ideologi tersebut adalah suatu mekanisme penjabaran nilai-nilai Pancasila, yang menurut penggalinya adalah falsafah negara (philosophice grondag atau weltanchaung), dimana nilai-nilai sosialisme kerakyatan itu dideskripsikan dalam runtutan kalimat filosofis sebagai hasil kristalisasi pemikiran para pendiri negara ini. Aksi pemberangusan ideologi dengan memanfaatkan kalimat “asas tunggal Pancasila” adalah suatu distorsi pemahaman atas falsafah negara tersebut, yang sejatinya adalah landasan bagi sistem operasi dalam menjalankan negara kearah tujuannya. Sistem operasi tersebut adalah ideologi. Maka dalam mengembalikan arah negara ke tujuan semula sesuai konstitusi, pembangunan ideologi sangat diperlukan, terutama di tataran penyelenggara negara yang terdiri dari para politikus, dalam wadah partai politiknya. Paradigma ini seyogyanya dapat digulirkan ke setiap pendukung reformasi, bahwa perubahan formasi yang paling utama untuk dilakukan, adalah mengembalikan ideologi ketempatnya semula, sebagai “driver” menuju tujuan negara.

Gagasan sosialisme di Indonesia tidak dapat hanya dipandang sebagai antisipasi dari bercokolnya neoliberalisme, yang merupakan wujud lanjut kapitalisme, namun juga sebagai konsekuensi dari pembentukan negara ini. Ketika golongan elit yang merepresentasikan kemauan mayoritas dari 73 juta rakyat nusantara pada tahun 1945 memutuskan untuk memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk sebuah negara, maka format yang disepakati adalah bentuk negara yang disusun berbasiskan nilai-nilai sosialisme. Kilas balik ke hari Sabtu bulan Ramadhan 67 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, ketika sekelompok elite terbaik bangsa ini berusaha menyepakati pondasi yang pas bagi republik yang baru lahir, maka terlihat aspek sosialisme sangat dominan. Pemahaman kelompok elite tersebut akan konsep negara sangat mendalam. Mereka paham akan pentingnya menjaga cita-cita membangun negara ini dengan suatu sistem yang berkedaulatan rakyat, dimana kepentingan rakyat banyak lah yang menjadi satu-satunya prioritas utama. Namun demikian, para pemikir elite tersebut juga paham bahwa bangsa ini berbeda dari negara-negara tempat ide-ide pembentukkan negara berasal. Oleh sebab itu, acuan nilai-nilai sosialistis yang dituangkan kedalam pasal demi pasal konstitusi, disesuaikan serta ditekankan kepada sosio diversifikasi bangsa yang sangat majemuk ini.

Aspirasi sosialisme yang terkandung dalam bulir konstitusi tersebut memerlukan sebuah kekuatan politik untuk menjaga arah perkembangan negara. Kekuatan politik yang dengan tegas menyatakan posisinya sebagai penjaga aspek sosialistis dalam pengelolaan negara. Program ekonomi kerakyatan dan kebijakan publik yang pro rakyat berbasis suatu ideologi sebagai sistem operasi, memerlukan suatu sistem kajian dan monitor implementasi yang jelas. Dalam mendukung tujuan tersebut, maka sistem kepartaian sebagai persyaratan suprastruktur bagi suatu wadah ideologis, harus disepakati di tataran pengelola negara sebagai suatu prioritas utama. Negara berkewajiban untuk mengakomodir aspirasi sosialisme dalam struktur pengelolaan, sebagai komitmen peneguhan cita-cita bangsa sesuai kesepakatan pendiriannya. Jika sistem kepartaian dapat mengakomodir kebutuhan tersebut, maka wadah ideologis paling ideal bagi suatu gerakan politik berbasis tujuan negara tersebut adalah Partai Sosialis Indonesia. Terlepas dari kesejarahan sebagai partai politik yang menegaskan ideologi kerakyatan sebagai acuan utama, kehadiran Partai Sosialis Indonesia akan merepresentasikan suatu visi negara bagi rakyatnya. Kehadiran partai politik-partai politik yang memposisikan diri sebagai pengusung ekonomi kerakyatan serta kebijakan pro rakyat tidak akan dapat menggantikan legitimasi ideologis yang dimiliki Partai Sosialis Indonesia. Partai Gerindra, Partai SRI, Partai Amanat Nasional dan lain-lainnya tidak akan mudah mengadopsi suatu konsep penyelenggaraan negara tanpa basis ideologi yang matang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline