Selayang yang terkasih:
Kita hidup bergerak. terus kian berpindah. Sampai-sampai di suatu pendangkalan keinginan, tiap diri lambat laun memaknai apa itu pelajaran berlari?. Mohon nanti dulu lekas sampai di persimpangan absurditas dan harapan, merangkai makna di tengah kepastian yang tak menerima satu pun ide gagasan pokok pengabaian.Â
Ada kalanya, kita berdiam di ruang-ruang tak bernama, bertanya pada bayang sendiri: mengapa aku ada? mengapa tidak mampus saja sesayangku? Amor Fati adalah perjalanan ke dalam inti jiwa, sebuah percakapan lirih dengan semesta, dan penerimaan atas absurditas hidup yang tak terelakkan. Melalui puisi ini, kita diajak menyusuri kegelisahan manusia yang universal---antara kehilangan, kerinduan, dan upaya berdamai dengan takdir. Hanya di dalam (angan & semoga (ah))!
Kepada:
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Tubuh adalah kotak pos yang menanti kabar burung maut dari kejauhan. Kutelan sebuah halte rusak, harap ia akan tumbuh di usus besar jadi sekumpulan bunga anyelir, buahnya berbentuk kepala surat; tertuju Jalan Keheningan No. 15, ujung baka yang bermaksud menangisi seluruh kau.
Aku perlu merapihkan gigi taring yang mengganjal di baris ganjil senyum tak ingin lekas tanggal pada tanggal aroma tanah menyusun rencana kematian sejak dini hari sampai selamanya.
Biar kekelaman masa lalu membasuh jiwaku, menghentikan jalan kebenaran untuk memperbaikinya. Semesta ini aku, berilah tempat bagi ketelanjangan murni! Ada baiknya kau tak perlu sempat mencari makna dari satu titik persinggahan ke persinggahan lain, jika terus menghapus jejak kakimu dari yang terangkut dan terturunkan roda waktu. Radar itu, kau tahu menunjuk ke arah lain, bukan kepada yang kita mau.
Kepada Tuhan yang tak kukenal rupanya, nyalang nanar mata lampu di taman kosong itu. Ia minum secawan sepi dari bulir-bulir darah kotor kepala sapi. Sorot runcing hujan mengerdip saat jatuh ke rumput plastik, gaung prahara menguar seisi langit serentak roboh; mana Venus, mana tata surya? kau temukan yang demikian, entah alangkah panjang benar kesementaraan.
Orang sering bilang aku gila. dan aku berpikir demikian. Dalam kamus filsafat, sehat adalah berpikir bahwa aku gila. dan aku berpikir mereka orang-orang sehatlah yang mengirimkan rumah sakit jiwa padaku. Di ruang terali ini, kami sesama orang gila lainnya saling menguatkan bahwa kami benar-benar layak dipanggil orang gila. yang tadinya pura-pura gila berdoa kepada puisi agar diberi-Nya gila beneran.
Tidak peduli matahari merendah, meninggi. Tiba saatnya terpejam, telanjang, berbusa, beriang, bersiul, bergurau, bergila, bermandi, berimprovisasi, ruang-ruang tampaknya dipenuhi isak tangis sebab kami yang mengisi dengan kotoran sumpah serapah nasib orang-orang terbuang selalu saja bertanya, Siapakah Tuhan itu? Mengapa aku ada?