Dari bergerilya mencari pekerjaan di perusahaan, kini saya juga bergerilya menaruh-naruh lamaran di sekolah-sekolah. Hanya bermodal nekat dan amplop lamaran saya mendatangi sekolah-sekolah, entah ada posisi lowongan atau tidak, setidaknya saya telah mencoba. Dan akhirnya kini saya mengajar di 4 sekolah.
Mungkin banyak dari kalian yang tidak percaya, kok bisa? Bagaimana mengatur waktunya? Pertanyaan itu juga terlontar dari teman-teman guru saya. Sebelum saya jawab, saya ingin menceritakan mengapa saya mau mengajar di 4 sekolah sekaligus, yang tadinya saya enggan untuk terjun kedunia pendidikan.
Memang yang namanya belajar itu adalah kata kerja yang tiada hentinya. Teruslah belajar sampai akhir menutup hayat, prinsip itulah yang berusaha saya pegang. Walaupun saya sudah lulus kuliah bukan berarti belajar juga telah selesai, saya berharap bisa terus belajar guna meningkatkan kualitas diri saya.
Belajar bukan berarti di dalam kelas, dari buku, ataupun dari tugas-tugas kuliah saja, belajar juga bisa dapat didapatkan dari diskusi dengan seseorang, melihat kehidupan dengan berbagai perspektif sehingga dapat menemukan makna kehidupan yang kita tafsirkan sendiri.
Menjadi guru membuatku banyak belajar, belajar dari pengalaman, pemahaman dalam perenungan kehidupan, setidaknya dapat membuat sedikit lebih bijaksana.
Saya akui memang kemampuanku masih jauh dari kata cukup untuk menjadi pribadi yang baik, dan dengan menjadi guru saya sedikit banyak dapat mengupgrade softskill dan hardskill saya. Ketika saya menjadi guru, saya banyak bertemu teman-teman guru yang menginspirasi saya.
Sayapun tak malu untuk belajar dari beliau-beliau yang sudah senior, mengambil yang baik-baiknya. Ketika saya mengajar di SMP 17 agustus yakni sekolah pertama saya dalam mengawali karir di dunia pendidikan, saya bertemu oleh guru matematika Ali Masrokan, M.Pd, saya biasa memanggilnya pa ali.
Dia adalah salah satu teman guru senior yang menginspirasi saya dalam mengajar di 4 sekolah. Walaupun sebenarnya dia adalah guru baru di smp tersebut dibanding saya yang lebih dulu mengajar di SMP 17 agustus ini, jadi pemikiran saya, sayalah yang lebih senior dari pada dia.
Pemikiran sombong dan idelisme seperti itu akhirnya terkalahkan oleh sifat dan pembawaan pak ali dalam bergaul terhadap guru-guru dan lingkungan baru, itu yang membuatku salut.
Saya sedikit banyak belajar dari beliau, dan kisahnya menjadi guru membuat saya mau untuk serius dalam menekuni bidang pendidikan.
Pak ali begitu sapaannya, beliau pria kelahiran grobogan jawa timur, yang merantau ke Jakarta bersama ayahnya. Dia dibesarkan oleh seorang ayah penjual batagor keliling, yang sering mangkal di sekolah-sekolah. Walau hanya pedagang kaki lima ayahnya bisa menyekolahkan anaknya sampai menempuh pendidikan S2.