Menaksir nilai sebuah properti terkadang bukan hal yang mudah dilakukan. Apalagi kalau itu adalah properti yang "menyimpan" cerita sejarah. Nilainya mungkin tak ternilai.
Gedung Joang 45 termasuk salah satunya. Dari jejak sejarahnya, gedung tersebut dulunya adalah sebuah hotel. Hotel ini dibangun dan dikelola oleh pengusaha asal Belanda bernama L.C Schomper pada tahun 1939. Maka, jangan heran hotel ini kemudian diberi nama sesuai dengan nama pendirinya, yakni Hotel Schomper.
Meski begitu, sayangnya bisnis hotel yang dimiliki oleh Schomper cuma bertahan sebentar saja. Begitu Jepang masuk menjajah Indonesia, hotel ini direbut dan diambil alih.
Pada masa penjajahan Jepang, tempat tersebut kemudian berubah menjadi sebuah asrama yang dinamakan Asrama Angkatan Baru Indonesia atau Asrama 31. Tak hanya tempat tinggal, asrama itu juga berfungsi menjadi "markas" bagi para pemuda aktivis pro-kemerdekaan.
Mereka di antaranya adalah Sukarni, Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, dan Adam Malik. Di sanalah mereka kerap bertemu dan berdiskusi menyiapkan kemerdekaan RI.
Sewaktu saya berkunjung ke sana bersama teman-teman dari Wisata Kreatif Jakarta dan Koteka Kompasiana, saya melihat bahwa meski usianya sudah lebih dari 80 tahun, tapi bangunannya masih terawat dengan baik.
Ciri khas arsitektur Belanda masih bisa dilihat di dalamnya, seperti atapnya yang tinggi, jendelanya yang terbuat dari kayu, dan ornamen-ornamen di dalamnya yang sangat "kolonial".
Meski begitu, wujudnya sebagai hotel atau asrama sudah tak lagi terlihat dengan jelas, mengingat sekarang fungsinya telah berganti menjadi museum, yang di dalamnya tersimpan koleksi benda-benda tempo dulu, seperti lencana, foto-foto hitam putih, dan replika kapal perang.
Tempat lain yang juga memuat memori tentang kemerdekaan Indonesia adalah Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Lokasinya sebetulnya tak begitu jauh dari Gedung Joang 45, bisa ditempuh sekitar 10 menit dengan bermobil.