Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Inilah 2 Jurus untuk Taklukkan FOMO dalam Investasi Saham

Diperbarui: 20 Agustus 2020   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi FOMO | Photo by Melanie Wasser on Unsplash

Belum lama, seorang teman bercerita kepada saya bahwa ia tertarik pada sebuah saham, tetapi "takut" untuk membelinya. Alasannya, valuasi sahamnya sudah mahal. 

Ia merasa sudah "ketinggalan kereta", sehingga kalau pun ia masuk di harga sekarang, maka peluang keuntungan yang diperolehnya terbilang kecil. Alhasil, ia lebih memilih berinvestasi di saham lain, yang menurutnya lebih murah untuk dikoleksi ketimbang saham tadi yang sudah telanjur terbang harganya.

Dalam investasi saham, rasa takut yang "menghantui" teman saya tersebut dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO). Perasaan ini bisa melanda investor manapun, baik yang sudah profesional maupun "newbie". Bahkan Warren Buffett yang disebut sebagai "Peramalan dari Omaha" karena dianggap bisa "menebak" harga saham juga pernah mengalami perasaan ini.

Beberapa dekade lalu, Buffett diketahui pernah tertarik pada saham Walmart. Ia menyukai model bisnis dan kualitas manajemennya.

Namun, ada satu hal yang menghalanginya untuk memborong saham Walmart pada waktu itu, yakni soal harganya yang dinilai begitu mahal. Ia merasa "telat" membeli saham tadi bertahun-tahun sebelumnya ketika harganya masih murah.

Alhasil, Buffett pun batal menyerok sahamnya, dan mungkin itu merupakan salah satu kesalahan dalam investasinya, sebab bertahun-tahun kemudian, harga saham Walmart terus meroket. Buffett telah melewatkan kesempatan yang begitu bagus dari saham Walmart karena ia mengalami FOMO.

Meskipun sering terjadi, namun bukan berarti gejala FOMO sukar diatasi. Berdasarkan pengalaman, setidak ada dua "jurus" untuk menghilangkan FOMO.

1. Memeriksa Valuasi Saham
Beberapa minggu sebelumnya, saya membeli sebuah saham, yang dalam empat bulan terakhir harganya sudah melesat hingga 100% lebih. Jelas saya sudah terlambat membeli sebelumnya. Ini sungguh disayangkan. Padahal, saya tahu bahwa pada kuartal kemarin, kinerjanya begitu cemerlang. Labanya melonjak tajam dan harga sahamnya pun terlihat pulih.

Meski begitu, saya menunda membelinya karena saya ingin melihat laporan keuangannya pada kuartal berikutnya. Andaikan tetap baik, maka saya bakal masuk ke saham tersebut. Menurut saya, ini lebih aman, mengingat kinerja pada satu kuartal belum bisa menunjukkan prospek saham tadi dalam jangka panjang.

Namun, di luar perkiraan, harga saham tadi malah melesat dengan cepat! Ternyata ada begitu banyak investor yang mengapresiasi sahamnya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan saja, persentase kenaikan harganya sudah menembus tiga digit!

Beberapa bulan kemudian, emiten merilis laporan keuangan terbaru. Hasilnya? Ternyata lebih bagus daripada kuartal sebelumnya. Tentu saja saya jadi semakin berminat mengoleksi sahamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline