Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Ketika Erick Thohir Ingin Membentuk "Super Bank Syariah"

Diperbarui: 9 Juli 2020   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri BUMN Erick Thohir/ sumber: www.okezone.com

Memegang saham BRI Syariah (BRIS) memang bisa bikin "sport jantung". Sebab, pada awal pekan ini, harganya mendadak "loncat" puluhan persen. Kenaikan ini terjadi bukan tanpa sebab. Jika diselidiki lebih dalam, maka baru diketahui bahwa pemicu melambungnya harga saham tersebut adalah rencana Menteri BUMN Erick Thohir untuk melakukan merger beberapa bank syariah milik pemerintah.

Merger tadi sejatinya bertujuan memperkuat industri perbankan syariah. Kalau beberapa bank syariah, seperti BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri, dilebur menjadi satu, maka akan tercipta "super bank syariah" yang mempunyai aset jumbo, yakni sebesar 207 triliun rupiah! Dengan aset sebanyak itu, super bank tadi akan menjadi market leader di industrinya.

Lantas, bagaimana dengan prospek bisnisnya? Meskipun bisnis bank syariah mempunyai regulasi yang lebih ketat daripada bank konvesional lainnya, karena semua pengelolaan dan penyaluran kreditnya mesti memenuhi prinsip-prinsip syariah, namun, saya memandang bahwa prospek industri perbankan syariah cukup cerah.

Alasannya sebetulnya sederhana, karena Indonesia memiliki jumlah penduduk beragama Islam yang besar dan belum banyak penduduk yang memanfaatkan layanan perbankan syariah. Alhasil, pangsa pasar bagi perbankan syariah sebetulnya begitu luas, sehingga masih ada cukup ruang untuk berkembang pada masa depan.

Bank Syariah yang rencananya akan dimerger/ sumber: katakini.com

Meskipun dinilai mempunyai prospek yang bagus, namun, ada sejumlah hal yang perlu dicermati jika merger ini jadi dilaksanakan. Yang pertama ialah soal pengelola utama. Ketika ada beberapa perusahaan yang memutuskan marger, maka akan ada dua hal yang mungkin terjadi, yakni (1) salah satu perusahaan "hilang" karena menyatu dengan perusahaan lain, atau (2) terbentuk sebuah perusahaan baru sebagai hasil penggabungan usaha.

Nah, kasus pertama bisa terjadi kalau salah satu bank syariah yang akan dimerger ditunjuk sebagai pengelola utama. Hal ini biasanya dipilih berdasarkan besaran aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Perusahaan yang mempunyai aset terbesar umumnya akan menjadi "poros" bagi perusahaan lainnya dalam sebuah merger.

Jika ditelisik dari jumlah asetnya, maka Bank Syariah Mandiri-lah yang berpeluang menjadi pengelola utama dari super bank yang akan dibentuk. Maklum, Bank Syariah Mandiri memiliki aset sebesar 114 triliun rupiah, lebih banyak dari BNI Syariah (51 triliun) dan BRI Syariah (42 triliun).

Dengan aset sebesar itu, Bank Syariah Mandiri berpeluang menjadi perusahaan inti dari merger yang akan dilakukan. Alhasil, kalau hal itu terjadi, maka semua aset BNI Syariah dan BRI Syariah akan dialihkan ke bank mandiri syariah, dan keduanya akan berubah nama sesuai dengan induknya.

Sementara, kasus kedua terjadi manakala ketiga bank syariah tadi sepakat membentuk sebuah perusahaan baru. Apabila skenario ini yang berlaku, maka ketiganya akan berganti nama dengan perusahaan baru. Meskipun mampu meminimalkan konflik kepentingan, namun keputusan ini bukan tanpa risiko.

Risiko yang mungkin muncul di antaranya adalah kesulitan dalam membangun brand. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sebelum marger, ketiga bank tadi sudah memiliki brand yang kuat.

Brand BRI Syariah misalnya begitu lekat dengan pembiayaan UMKM; BNI Syariah dengan pendidikan; dan Bank Syariah Mandiri dengan korporasi. Makanya, dengan menciptakan perusahaan baru, manajemen mesti merintis brand yang menjadi ciri khas dari bisnis yang dijalani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline