Jesse Livermore. Mungkin nama itu kurang begitu akrab di telinga masyarakat awam. Namun, bagi investor saham, nama itu bermakna satu hal: "legenda". Disebut demikian karena Livermore adalah trader saham yang mampu menuai untung besar saat pasar saham di Amerika Serikat mengalami resesi ekonomi hebat pada awal abad ke-20 silam.
Pada tahun 1907, ketika mayoritas saham-saham di Wall Street rontok, Livermore sanggup meraup untung sekitar 3 juta dollar. Hal yang sama kembali diraihnya ketika pasar saham ambruk pada tahun 1929. Berbeda dengan sebelumnya, nilai keuntungan yang didapatnya pada saat itu jauh lebih besar: 100 juta dollar! Prestasi itulah yang kemudian mengangkat namanya di kalangan investor saham.
Reputasi Livermore mungkin bisa disamakan dengan Warren Buffett. Keduanya sama-sama terkenal karena bisa memetik keuntungan yang fantastis dari pasar saham. Meskipun begitu, keduanya memiliki perbedaan yang cukup kontras, terutama dalam hal "filosofi investasi" yang dianut.
Semasa kariernya, Livermore dikenal sebagai spekulan yang andal. Berbeda dengan Buffett yang selalu menggunakan analisis fundamental dalam menyeleksi saham, ia lebih mengandalkan analisis teknikal. Baginya, pergerakan harga saham dan volume transaksi begitu penting. Saat ada saham bagus yang harganya mengalami kenaikan yang solid, tanpa ragu, ia akan "menyambar"-nya.
Walaupun disebut trader, sejatinya Livermore jarang melakukan transaksi harian. Setelah melakukan beberapa pembelian di awal, ia cenderung mendiamkan saham yang sudah dibelinya. Lewat mesin type yang memperlihatkan semua transaksi di bursa saham, ia terus memantau dan mencatat semua pergerakan harga sahamnya di sebuah buku setiap hari. Setelah beberapa bulan, ketika keuntungannya sudah lumayan besar, barulah ia menjual sahamnya.
Dalam memilih saham, Livermore selalu mengikuti tren. Pendekatannya lebih bersifat "top-down". Ia akan menganalisis tren di suatu sektor, dan kalau trennya positif, ia akan mencari saham yang menjadi pemimpin di sektor tersebut. Ia akan membandingkan minimal dua saham terbesar di sektor tadi untuk menemukan saham yang terunggul.
Berbeda dengan Buffett yang sampai berkunjung dan berbicara langsung dengan manajer perusahaan, Livermore sepenuhnya mengandalkan angka dan data yang tersedia dalam menganalisis saham. Sifatnya yang tertutup dan horison investasinya yang pendek mungkin yang menyebabkannya enggan melakukan analisis yang menyeluruh.
Kalau Buffett sering memikirkan mahal-murahnya harga saham sebelum bertransaksi, Livermore bersedia membeli saham dengan harga premium. Asalkan ada "jaminan" bahwa harganya akan naik, ia bersedia memborong saham yang diincarnya tanpa mempersoalkan valuasi harganya.
Meski begitu, Livermore sangat berhati-hati saat berbelanja saham. Ia suka membeli saham secara bertahap. Kalau mempunyai modal 10 juta rupiah, misalnya, ia akan mencicil saham yang ingin dimilikinya sedikit demi sedikit. Awalnya, ia membeli 2 juta rupiah. Kalau harganya naik, ia akan menambah 2 juta lagi. Demikian seterusnya hingga semua modalnya habis dibelanjakan. Teknik ini kerap disebut "piramida" atau "averaging up".
Dalam menjalankan usahanya, Livermore berkomitmen memangkas setiap kerugian yang dialaminya sebelum kerugian itu bertambah besar. Ia "mengharamkan" averaging down ketika saham yang dibelinya jatuh beberapa puluh persen. Lebih baik ia langsung melakukan cutloss daripada menambah porsi saham yang sedang jatuh harganya. Batasan cutloss-nya ialah 10% dari pembelian.
Livermore selalu menyediakan cadangan uang tunai yang berlimpah di dompetnya. Uang tunai itu dipakai pada waktu darurat, sehingga kalau situasi buruk menghajar bursa saham, ia masih bisa bertahan dan bangkit dari keterpurukan.