Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Menyeleksi Saham Mesti Secermat Memilih Moderator Debat Pilpres?

Diperbarui: 30 Januari 2019   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: inews.id

Tommy Tjokro dan Anisha Dasuki menjadi dua nama yang ramai diperbincangkan oleh warganet beberapa waktu lalu. Pasalnya, kedua pembawa berita itu dipilih sebagai moderator Debat Pilpres yang akan dilangsungkan pada tanggal 17 Februari 2019.

Sebagai tuan rumah, keputusan Komisi Pemilihan Umum alias KPU saat memilih keduanya bukannya tanpa sebab. Selain sama-sama disepakati oleh kedua tim kampanye, KPU menilai bahwa mereka punya track record yang baik dalam memimpin sebuah acara.

Seperti dikutip dari laman kompas.com, Tommy Tjokro dan Anisha Dasuki bukan sekali ini bertugas menjadi pemandu dalam acara yang diselenggarakan KPU. 

Tommy pernah dipercaya memandu Debat Pilgub Jateng 2018, sementara Anisha tercatat menjadi pemandu pada Pilgub Jabar, Pilgub Jatim, Pilkada Wali Kota Tangerang, Pilgub NTT, dan Pilkada Bupati Morowali. Dengan pengalaman demikian, jangan heran, KPU mantap menunjuk keduanya sebagai moderator Debat Pilpres.

Strategi KPU dalam memilih moderator debat berdasarkan rekam jejak sebetulnya bisa diterapkan dalam situasi lain, seperti saat investor menyeleksi saham. Dalam memilih sebuah saham, investor memang mesti memeriksa track record-nya dengan cermat. Jangan sampai investor menanggung kerugian akibat lalai menelusuri rekam jejak saham yang akan dibelinya.

Hal itulah yang juga menjadi satu pertimbangan saya dalam memilih saham. Saya merasa lebih nyaman berinvestasi pada saham-saham yang sudah "malang-melintang" di bursa sekian tahun. Umumnya saya suka saham-saham yang berusia "lawas", minimal empat tahun sejak IPO. 

Menurut saya, saham-saham demikian lebih mudah "dibaca" masa depannya, daripada "saham-saham kemarin sore" alias baru saja mencatatkan diri di bursa.

Makanya, sampai sekarang, saya enggan membeli saham-saham yang baru melakukan IPO. Alasannya? Track record-nya masih "gelap". Biarpun harga saham IPO umumnya akan "terbang" pada perdagangan perdana, saya justru melewatkan kesempatan emas tersebut.

Menurut saya, sebagus apapun sebuah perusahaan, kalau rekam jejaknya masih minim, itu terlalu berisiko untuk investasi saya. Lebih baik saya menunggu setahun-dua tahun agar saya bisa melihat prospek perusahaan tersebut lebih jelas.

Hal itulah yang juga dilakukan oleh Warren Buffett sewaktu ia memborong saham Apple beberapa tahun silam. Harus diakui, keputusan Buffett tersebut agak "kontradiktif".

Sebab, selama bertahun-tahun, Buffett dikenal sebagai investor yang ogah membeli saham-saham teknologi. Ia seolah "alergi" terhadap saham-saham teknologi, seperti Facebook, Amazon, dan Oracle, karena ia tidak mengetahui prospek perusahaan di baliknya. Ia takut berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang cara kerjanya tidak diketahui dengan baik begitu. Baginya, itu terlalu berisiko.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline