Jika boleh diumpamakan, sepanjang bulan ini, kondisi bursa saham Indonesia ibarat status Gunung Anak Krakatau: "Siaga"! Maklum, beberapa sentimen negatif terus membayangi pasar. Satu di antaranya yang cukup terasa ialah keputusan Bank Sentral Amerika serikat alias The Fed, yang kembali menaikan suku bunga acuan sebesar 2,25%-2,5% pada tanggal 19 Desember kemarin.
Kenaikan itu menjadi yang keempat kalinya sepanjang tahun 2018, membikin investor kalang kabut dan harga saham di sejumlah negara pun rontok.
Biarpun sempat "diteror" oleh Presiden Trump, ternyata Gubernur The Fed, Jerome Powell, tetap berani mengambil langkah krusial tersebut. Pasalnya, kalau hal itu tidak dilakukan, posisi nilai tukar dollar terhadap mata uang lain akan melemah, dan itu tentu dapat menyebabkan resesi ekonomi di "Negeri Paman Sam" tersebut.
Untungnya, langkah The Fed tidak diikuti oleh Bank Indonesia (BI). Pada tanggal 20 Desember lalu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengumumkan tidak menaikkan suku bunga acuan bank. Kini suku bunga yang ditetapkan BI ialah 6% dan angka tersebut dinilai cukup kuat meredam "keperkasaan" dollar terhadap rupiah. Sampai tulisan ini dibuat, nilai tukar rupiah terhadap dollar mencapai Rp 14.537/ USD, dan nilainya pun tidak begitu "anjlok", sebagaimana diramalkan oleh analis pasar.
Kemudian, apakah "film horor" tersebut sudah berakhir jelang pergantian tahun 2018? Ternyata belum. Sebab, The Fed diwacanakan akan menaikkan suku bunga acuan beberapa kali lagi pada tahun 2019. Jika hal itu sampai terjadi, ibarat material Anak Gunung Krakatau yang ambles masuk ke laut, akan tercipta gelombang "tsunami" yang menghantam beberapa sektor usaha di Indonesia.
Satu sektor yang tentu terdampak paling parah ialah perbankan. Maklum, kenaikan suku bunga acuan akan berpengaruh besar terhadap bisnis bank. Sebab, bank mesti menambah pula porsi bunga kredit yang ditawarkan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
Hal itu tentu bisa bikin orang-orang urung pinjam uang ke bank. Siapa yang mau pinjam uang kalau bunga kredit yang dipatok tinggi begitu? Makanya, kalau banyak nasabah yang "ogah" pinjam dana, pendapatan bank bisa turun, dan sahamnya yang diperdagangkan di bursa pun bisa berguguran.
Sektor lain yang juga ikut terdampak ialah properti. Lagi-lagi "penyakit"-nya sama, yaitu kenaikan bunga kredit. Wajar, bunga kredit yang besar bisa menjadi beban tersendiri bagi orang yang mengambil Kredit Kepemilikan Rumah alias KPR pada tahun depan. Sudah harga rumah sekarang mahal, bunga kredit naik pula! Bisa-bisa orang batal ambil KPR, hanya karena bunga kreditnya relatif tinggi.
Makanya, sejumlah analis menyarankan supaya investor terus memantau saham-saham di sektor properti. Beberapa di antaranya ialah saham ADHI (PT Adhi Karya Tbk.), BSDE (PT Bumi Serpong Damai Tbk.), dan LPKR (PT Lippo Karawaci Tbk.).
Sementara itu, sektor lain yang juga bisa terkena imbas adalah sektor perdagangan. Selain harus menyiasati nilai tukar rupiah terhadap dollar, perusahaan yang bergerak di sektor perdagangan juga mesti memikirkan strategi penjualan agar konsumen tetap mau beli biarpun bunga kredit sedang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menarik sebuah simpulan. Bahwa seperti warga yang tinggal di sekitar Gunung Anak Krakatau, para investor juga masih "dihantui" oleh ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2019. Namun demikian, bukan berarti tahun depan adalah tahun yang suram untuk berinvestasi.