Perceraian tak hanya terjadi di kalangan selebriti, tetapi juga di dunia saham. Sudah sebulan terakhir, saya mengamati ada begitu banyak investor yang menyudahi hubungan "mesra"-nya dengan saham tertentu, khususnya saham produsen batu bara. Alih-alih menahannya lebih lama, mereka beramai-ramai mengobralnya, hingga harga sahamnya jatuh ke "titik nadir".
Hal itu tentunya bisa dimaklumi. Sebab, sampai tulisan ini dibuat, harga batu bara memang terus anjlok, dari yang harganya $ 119/metrik ton pada bulan Juni 2018 ke harga $ 101/ metrik ton pada bulan November 2018.
Tidak ada yang tahu seberapa dalam harganya akan terus jatuh. Jadi, daripada membiarkan portofolio sahamnya "berdarah-darah", investor memilih mengikhlaskannya. Barangkali "perceraian" adalah jalan terbaik untuk kedua belah pihak.
Hal itu memang sangat disayangkan. Padahal, beberapa bulan silam, sempat berembus "rumor" bahwa harga batu bara akan naik tajam jelang musim dingin.
Pemicunya, Tiongkok, sebagai negara pengimpor batu bara terbesar di dunia, pasti akan memasok batu bara besar-besaran untuk menghadapi cuaca ekstrem.
Maklum, masyarakat Tiongkok memang biasa memakai batu bara sebagai penghangat ruangan. Batu bara dipilih lantaran harganya jauh lebih murah daripada bahan bakar lain.
Oleh sebab itu, masyarakat Tiongkok membutuhkan lebih banyak stok batu bara untuk menghalau suhu dingin selama beberapa bulan.
Namun, ternyata "rumor" tersebut meleset. Tidak ada permintaan batu bara yang terlampau signifikan dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Masyarakat Tiongkok ternyata tidak terlalu memerlukan batu bara lantaran musim dingin yang datang saat ini tidak begitu ekstrem.
Semua itu bisa terjadi karena pengaruh El Nino. Fenomena alam itu menyebabkan suhu udara di sejumlah wilayah di Tiongkok menjadi lebih hangat pada musim dingin kali ini.
Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga sedang gencar membatasi konsumsi batu bara. Wajar, pemerintah di sana memang berupaya memperbaiki kualitas udara di sejumlah kota, seperti Beijing dan Shijiazhuang.
Selama beberapa tahun, kota-kota itu mendapat sorotan publik. Sebab, tingkat polusi udaranya terbilang tinggi. Sepanjang hari, masyarakat yang tinggal di kota tersebut hidup di bawah "bayang-bayang" kabut asap. Bisa dibayangkan betapa sesak masyarakat setempat akibat terus terpapar asap setiap hari.