Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

"Phubbing", Penyakit Mental "Zaman Now"?

Diperbarui: 5 Juni 2018   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: cdn2.tstatic.net

Kemarin saya menemukan satu kata "unik" sewaktu melihat satu posting-an di instagram. Kata itu ialah phubbing yang merupakan kependekan dari phone snubbing. Kata itu terdengar "asing" di telinga saya. Makanya, saya kemudian tertarik "mengulik" informasi di dalamnya lebih jauh.

Dalam posting-an tersebut, kata phubbing diterjemahkan sebagai "takada", yang merupakan penggabungan antara kata "tak" (tidak) dan "ada". Saya tidak memahami alasan si penulis menerjemahkannya demikian. Pasalnya, saya merasa bahwa terjemahannya terasa kurang tepat biarpun kata takada sudah termaktub di KBBI.

Kalau menelusuri kamus lain, kita akan menemukan beragam arti kata phubbing. Umumnya mendefinisikan phubbing sebagai sebuah "kecanduan" berkomunikasi via smartphone alih-alih bertatap muka secara langsung.

Saya sebut "kecanduan" sebab "pengidap" phubbing biasanya kurang nyaman berinteraksi secara sosial. Mereka bisa merasa "kikuk", "salah tingkah", atau "mati gaya" sewaktu diajak berbicara dengan orang lain di sebelahnya.

Untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut, mereka kemudian membuka smartphone-nya, dan terlihat nyaman mengobrol dengan teman di dunia maya daripada teman yang jelas-jelas berada di dekatnya.

Fenomena phubbing dapat dijumpai di mana saja dan kapan saja. Pernah lihat seseorang yang asyik dengan ponselnya sendiri dalam waktu yang lama biarpun ia sedang berkumpul dengan teman-temannya dalam acara bukber?

Pernah berjumpa dengan anggota keluarga yang tiba-tiba "menjauhi" keramaian lantaran lebih senang berinteraksi dengan smartphone-nya daripada bersilaturahmi dengan anggota keluarga lainnya?

Bisa jadi, mereka "mengidap" phubbing.

Seperti disinggung di atas, biarpun sempat dipadankan dengan kata "takada", saya merasa terjemahan itu belum "mewakili" konsep phubbing dengan pas. Sebab, terjemahan itu bisa menciptakan mispersepsi.

Orang bisa beranggapan bahwa "pengidap" phubbing tak hanya "alpa" dalam pikiran, tetapi juga secara fisik. Padahal, jelas-jelas fisik orang tersebut hadir dalam interaksi sosial.

Hanya pikirannya saja yang "mengembara" saat berkomunikasi dengan orang lain lantaran terlalu sibuk memikirkan hal lain atau seseorang di dunia maya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline