Kalau boleh meminjam judul sebuah lagu, kehidupan pasar ialah "separuh napas" dalam hidup saya. Sebab, sejak kecil, saya sudah ikut membantu orang tua saya berdagang di sebuah pasar di kawasan Babelan, Kabupaten Bekasi. Saya ingat bahwa sewaktu masih SD, orangtua saya sering membangunkan saya pagi-pagi betul, menyuruh saya mandi, lalu membawa saya ke pasar untuk ikut berdagang. Di toko kecil milik orangtua, saya membantu mengurus, mengelola, dan menjual barang dagangan yang dijajakan.
Saya merasa sungguh lelah setiap pulang dari pasar. Kadang saya juga mengeluh bahwa "jatah libur" saya terpakai akibat harus bekerja di pasar. Maklum saja, dulu, pada bulan puasa, sekolah diliburkan "total" selama sebulan. Makanya, saya sering merasa iri terhadap teman-teman saya yang bebas bermain tembak-tembakan, sepakbola, dan playstation, sementara sehari-hari saya malah sibuk menimbang terigu hingga baju kotor, memindahkan peti gula merah di gudang, dan mengangkut bawang putih ke toko pelanggan.
Namun demikian, dari situlah kemudian, saya mengenal dunia perdagangan dengan semua "lika-liku"-nya. Sejak usia belia, saya memahami perilaku pedagang-pedagang pasar, serta "permainan harga" yang dilakukan. Sebuah "ilmu jalanan" yang belum tentu saya peroleh di bangku sekolah. Biarpun sekarang sudah jarang "terjun" langsung ke pasar, semua pengalaman itu terus "membekas" di dalam ingatan saya, hingga ingatan itu terpatik kembali sewaktu saya mengikuti acara Perspektif Kompasiana bersama Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita.
Pasalnya, dalam uraiannya yang disampaikan secara lugas, Pak Enggar menyinggung upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pasar, terutama pada bulan puasa. Sebab, seperti sebuah "tradisi tahunan", harga kebutuhan pokok akan merangkak naik pada bulan Ramadhan. Makanya, Pak Enggar kemudian menjelaskan "jurus-jurus" yang dipakai pemerintah untuk meminimalkan lonjakan harga di pasaran.
Lonjakan Harga Disebabkan Perilaku Pedagang?
Kalau ditelusuri "akar" persoalannya, lonjakan harga tersebut ternyata disebabkan oleh beberapa faktor. Satu di antaranya ialah perilaku pedagang yang "malas" bayar utang. Lho, memang ada hubungan antara hal itu dan kenaikan harga di pasaran? Ternyata ada dan itu mempunyai kaitan dengan keluhan yang disampaikan beberapa sales sewaktu berkunjung ke toko saya.
Maklum saja, sales yang datang ke toko saya umumnya sering mengeluhkan macetnya pembayaran beberapa toko yang harus disambanginya. Menurut cerita mereka, ada saja pemilik toko yang "kabur" saat ditagih utangnya. Ada pula yang sengaja membayar utang pada sore hari, biarpun si sales sudah datang pada pagi hari. Makanya, saat mendapat jadwal kunjungan ke toko itu, mereka sering "uring-uringan" di jalan.
Pasalnya, upaya penagihan itu sudah pasti akan menguras waktu, tenaga, dan emosi. Belum lagi, saat kembali ke kantor, mereka harus merapikan uang setoran dan mengganti nominal kalau ternyata ada jumlah setoran yang kurang sewaktu dihitung ulang. Miris? Jelas. Sebab, demikianlah kerasnya dunia sales yang saya dengar secara langsung.
Kemudian sempat saya bertanya apakah si sales pernah menegur pemilik toko yang malas bayar utang? Beberapa menjawab pernah. Reaksinya? Ternyata si pemilik toko malah marah-marah. Ternyata si pemilik sales merasa tersinggung akibat dianggap enggak sanggup bayar utang, biarpun kenyataannya begitu. Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.
Makanya, si sales harus tahan banting sewaktu mendapat omelan si pemilik toko. Kalau sudah demikian, si sales biasanya menggunakan jurus berikutnya, yaitu mengurangi jatah barang yang dipesan pemilik toko tersebut dan fokus menawarkan barang kepada pemilik toko lainnya yang pembayarannya tepat waktu.
Hal itulah yang menyebabkan sebuah toko bisa punya stok barang yang berlimpah, sementara lainnya sulit mendapat barang jualan. Akhirnya, toko yang kurang barangnya akan membeli barang tersebut kepada toko lainnya, dan hal itu mengakibatkan rantai pasokan lebih panjang dan harga pun naik.