Pada saat saya kelas satu SMA, karena saya mendapat "jatah" belajar dari jam 12 siang sampai jam 5 sore, saya biasanya berangkat berjalan kaki ke sekolah.
Sekolah saya memang terletak di dekat rumah. Makanya, dari rumah ke sekolah, saya umumnya menghabiskan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit, bergantung pada cuaca dan kecepatan saya dalam berjalan. Agak panas memang. Sebab, saya harus berjalan sambil membawa tas yang dijejali buku yang berat pada tengah hari. Namun, semua itu dilakukan untuk menghemat ongkos sehingga uang saku saya yang biasanya diberikan setiap minggu tetap "awet".
Seiring berjalannya waktu, karena saya agak capai berjalan kaki, saya kemudian pergi ke sekolah naik sepeda. Saya memiliki sebuah "sepeda lawas" di rumah. Lantaran sudah jarang memakainya, akhirnya, saya memutuskan "memberdayakannya" kembali. Jadi, pergilah saya ke sekolah dengan menggowes sepeda. Asyik memang. Namun, karena aksi "eksentrik" itulah, saya sempat ditertawakan teman.
Saya sebut "eksentrik" karena pada saat itu, di kota-kota besar, sangat jarang ada siswa yang berangkat ke sekolah naik sepeda. Umumnya mereka memakai sepeda motor. Pada waktu itu, tren bersepeda belum muncul seperti saat ini dan siswa merasa lebih "bangga" naik motor daripada sepeda. Makanya, orang yang bersepeda ke sekolah atau ke kantor sering dianggap "konyol" pada waktu itu.
Hal itu akhirnya diketahui oleh orangtua saya. Mereka merasa risih melihat saya ke sekolah naik sepeda. Akhirnya, pada tahun 2007, saat saya kelas dua SMA, mereka membelikan saya sepeda motor. Itulah motor pertama yang saya miliki. Saya sungguh senang menyambut kedatangannya di rumah. Sebuah momen yang bersejarah dalam hidup saya!
Sejak saat itu, saya meninggalkan sepeda, dan beralih menggunakan motor.
Ke mana-mana saya pergi memakai motor itu, terutama saat saya berkuliah di Jakarta. Selama empat tahun berkuliah, saya "wara-wiri" menungganginya sepanjang jalan antara Jakarta dan Bekasi. Selama empat tahun itu pula, sepeda motor itu "diuji" oleh segala macam situasi dan kondisi.
Bagi saya, motor yang satu ini "tahan banting". Motor itu tangguh melibas semua tantangan di jalanan. Kecuali ban bocor akibat tertembus paku, tidak ada "penyakit" lain yang dialaminya. Performanya prima, termasuk sewaktu saya menerobos banjir setinggi 50 cm di Kawasan Industri Pulogadung.
Saat motor-motor lain mogok sewaktu mencoba melewati banjir, motor saya justru mampu menembus genang tersebut. Saya ingat pada saat itu sibuk "memainkan" gas dan kopling, seraya merasakan dinginnya air yang merendam kaki saya.
Motor saya pun melaju lambat, tetapi akhirnya sukses melampaui banjir tanpa masalah sekali pun! Buktinya, sewaktu saya memeriksakannya ke bengkel, montirnya berkata tidak terjadi kerusakan di mesinnya!
Tahun ini adalah "ulang tahun" motor saya yang kesepuluh tahun. Biarpun telah lawas, motor itu tetap awet digunakan, dan kini saya tetap memakainya ke kantor hampir setiap hari.