Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Galau Terlalu Banyak "Rezeki"

Diperbarui: 24 Oktober 2017   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.liputan6.com

Sejak beberapa bulan belakangan, saya sibuk "menggarap" beberapa pekerjaan sekaligus. Selain pekerjaan utama saya di sebuah startup, pada waktu senggang, saya berusaha menyelesaikan beberapa proyek yang ditawarkan kepada saya.

Awalnya, saya menyanggupinya. Bagi saya, tawaran itu adalah "pintu masuk" bagi rezeki. Makanya, saya mesti membukanya selebar mungkin agar makin banyak rezeki yang datang "berlalu lalang".

Namun demikian, setelah mencoba menyelesaikannya, saya merasa perlu "sedikit" menutup pintu tersebut. Bukannya saya tidak mensyukuri rezeki yang datang, melainkan saya menghargai klien saya.

Pasalnya, kalau sudah berjanji, saya berupaya menyelesaikan suatu proyek sesuai jadwal, biarpun waktu istirahat saya "tersita" dan liburan saya "tertunda" sekian minggu. Semua itu dilakukan atas nama "profesionalisme".

Selain itu, saya juga mempertimbangkan "kualitas" hasil kerja saya. Pasalnya, saat mengerjakan sejumlah proyek sekaligus, konsentrasi saya mudah terpecah.

Ibarat membuat masakan, seperti soto, bakso, mie ayam, kuetiaw, dan nasi goreng di dapur yang sama, saya berusaha mengerjakan semua tugas secara bergantian. Makanya, saya berharap bahwa saat satu tugas rampung, tugas lainnya pun selesai secara bersamaan.

Hasilnya? Tentu saja, saya merasa sangat sibuk, sangat stres, dan sangat lelah mengerjakannya. Belum lagi, saya melihat bahwa hasil kerja saya belum optimal. Hal itu tentunya bisa membikin klien kecewa terhadap hasil kerja saya. Lagi-lagi sikap profesional saya "diuji".

Makanya, kemarin, sewaktu mendapat tawaran proyek lanjutan, dengan berat hati, saya menolaknya. Nah, itulah yang kemudian bikin saya "galau". Apakah dengan menolak tawaran tersebut, saya sudah "menutup" pintu bagi rezeki?

Kesehatan Adalah Sebuah Rezeki (Tersamar)

Barangkali mayoritas orang setuju dengan penyataan bahwa kesehatan adalah sebuah rezeki. Namun, anehnya, mengapa banyak orang yang mengabaikan kesehatan dan lebih mengutamakan rezeki lainnya?

Pertanyaan itu kemudian "melemparkan" pikiran saya pada isi buku The Art of Thingking Clearly, yang ditulis oleh Rolf Dobelli. Dobelli punya jawaban unik untuk menjawab pertanyaan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline