Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Lajang di Indonesia Hidup "Lebih" Bahagia, Mitos atau Fakta?

Diperbarui: 22 Agustus 2017   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: http://i.huffpost.com

Sekitar tiga hari lalu, sewaktu menyaksikan sebuah berita di Metrotv, saya sempat tertegun. Pasalnya, tayangan itu menguak data BPS yang memperlihatkan indeks kebahagiaan penduduk Indonesia.

Berdasarkan data itu, masyarakat mengaku bahagia tinggal dan hidup di Indonesia. Biarpun alasan yang menyebabkan kebahagian berbeda-beda, setidaknya hal itu menjadi kabar baik bahwa negera kita masih "disukai" dan "dicintai" oleh masyarakatnya.

Namun demikian, bukan cuma itu yang unik. Keunikan lainnya ialah data bahwa lajang yang disurvei oleh BPS ternyata memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi daripada mereka yang sudah menikah. Indeks yang diperoleh mencapai 68,36.

Indeks itulah yang membikin saya termenung hingga tercetus sebuah pertanyaan, "Betulkah para jomblo di Indonesia hidup lebih bahagia? Kalau memang iya, lantas apakah yang menyebabkan mereka bisa hidup happy?" Pertanyaan itu sedikit-banyak "mengusik" kepala saya.  

Namun demikian, jika menyinggung soal kebahagiaan, saya tiba-tiba terkenang sebuah artikel yang pernah saya baca beberapa tahun lalu. Isi artikel itu menyebut daftar negara-negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi.

Sewaktu menyusuri daftar negara-negara tersebut, saya sempat garuk-garuk kepala. Pasalnya, di situ tak terdapat negera-negera maju, macam Amerika Serikat, Jerman, atau Jepang, yang secara ekonomi jauh lebih kaya daripada negara lainnya.

Namun, anehnya, saya malah mendapati negara seperti Bhutan yang sempat menduduki peringkat satu sebagai negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia. Saya agak heran. Apa saya salah baca? Ternyata tidak! Sebab, artikel lain pun menyuarakan hal yang sama.

Lantas, bagaimana Bhutan, sebuah negara kecil di Himalaya, bisa dinobatkan demikian? Usut punya usut, ternyata masyarakat Bhutan memandang bahwa kekayaan materi yang dimiliki tak terpengaruh besar terhadap kebahagiaan hidup mereka.

Mayoritas penduduk Bhutan menganggap bahwa kalau sudah punya sebidang tanah untuk tempat tinggal dan pertanian, mereka sudah merasa bahagia. Makanya, mereka tak terlalu tertarik membeli mobil mewah, menyewa jet pribadi, atau mengenakan pakaian mahal. Asalkan sudah punya sepetak tanah, mereka sudah bahagia. Hanya itu.

Setidaknya itulah ukuran kebahagiaan yang "diyakini" oleh masyarakat Bhutan. Namun, apakah ukuran itu berlaku juga untuk negara lainnya? Ternyata tidak juga. Sebab, kebahagiaan itu bersifat subjektif. Kebahagiaan itu terletak di wilayah rasa, bukannya logika. Makanya, apa yang menurut orang lain bisa membuat hidup lebih bahagia, belum tentu itu bisa membikin hidup kita bahagia juga.

Jadi, kalau kita menghubungkannya dengan data BPS yang disinggung sebelumnya, akan muncul sebuah pertanyaan: "Apa 'ukuran' yang dipakai oleh BPS sewaktu menyurvei para lajang di Indonesia hingga menyimpulkan kalau mereka punya indeks yang lebih tinggi daripada yang sudah menikah?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline