Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Salahkah Berinvestasi pada "Pertemanan?"

Diperbarui: 25 Juli 2017   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: http://huffpost.com

Sejak beberapa hari yang lalu, saya asyik mencari informasi tentang investasi. Dari situ, saya "memperdalam" wawasan seputar instrumen investasi yang banyak dipakai. Sebut saja investasi berupa logam mulia, yang tetap menjadi "primadona" sehingga banyak diburu oleh masyarakat.

Jika dibandingkan dengan alat investasi lainnya, seperti tanah dan bisnis, harga emas lebih terjangkau dan nilainya pun cenderung stabil. Selain itu, apabila pemiliknya membutuhkan dana cepat, emas lebih mudah diuangkan. Makanya, emas masih terasa menggiurkan dan menggoda minat investasi masyarakat.

Namun demikian, di antara sekian banyak artikel yang saya liput, investasi berupa "pertemanan" jarang sekali disebut. Bahkan, dalam buku-buku finansial, seperti Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki, hal itu malah tak disinggung sama sekali. Dari situ kemudian "berkecamuk" sebuah pertanyaan di dalam kepala saya: "Apakah pertemanan itu bukan instrumen investasi yang menguntungkan sehingga banyak orang yang mengabaikannya?"

Untuk menjawabnya, saya berpikir keras dan pikiran saya pun tiba-tiba saja "terpental" ke beberapa pengalaman yang sudah dilalui. Pada masa lalu, seingat saya, saya sering memperoleh bantuan dari orang lain. Misalnya, sekitar tahun 2015, saya meminta seorang teman untuk menemani saya pergi ke daerah Jakarta Barat lantaran saya ingin membeli peralatan hidroponik.

Saya belum mengenal betul daerah itu dan akhirnya meminta bantuannya untuk mencari lokasi toko yang dituju. Karena sehari-hari bekerja di sekitar situ, dia menyanggupinya. Jadilah, kami pergi naik motor berboncengan.

Setelah menyelesaikan semua urusan, dalam perjalanan pulang, kami kemudian mampir ke sebuah outlet penjual bakso. Atas budi baiknya, saya berniat mentraktirnya makan. Awalnya, dia sempat menolak lantaran merasa sungkan.

Namun, lantaran saya terus memaksa, akhirnya dia bersedia. Jadilah, saya membayar semua tagihan makannya pada saat itu. Seingat saya, harganya tak terlalu mahal. Berdua kami hanya membayar sekitar tujuh puluh ribuan.

Setelah kejadian itu, kami berpisah dan melanjutkan kegiatan masing-masing. Hingga, pada akhir tahun 2016 kemarin, saya kembali mengajaknya ke sebuah mall di Bekasi untuk melihat pameran teknologi. Lantaran punya waktu luang, dia pun bersedia.

Kami menghabiskan waktu sekitar tiga jam di situ, dari melihat pelbagai teknologi pertanian yang dipamerkan hingga menyantap makan Jepang di sebuah restoran. Nah, uniknya, setelah puas menikmati makanan Jepang yang enak, sewaktu akan membayar, teman saya langsung berkata ingin mentraktir saya.

Namun, lantaran kurang enak hati, saya kukuh menolaknya. Sampai, kemudian teman saya berkata, "Kan waktu itu gue juga sempet lu bayarin?" Sesaat saya teringat cerita di atas. Dalam hati, saya berkata bahwa ternyata dia masih mengingatnya walaupun kejadiannya hampir dua tahun berlalu!

Walaupun kebaikan hati mustahil diukur dengan uang, kalau dicermati, saya merasa mendapat untung dari situ. Buktinya, dia bersedia membayar semua biaya makan saya, yang jelas-jelas lebih mahal daripada ketika saya mentraktirnya makan tempo hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline