Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Akankah Bahasa Indonesia Bernasib “Setragis” Bahasa Bo?

Diperbarui: 27 Oktober 2016   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa Indonesia Adalah Bahasa Persatuan/ www.univbatam.ac.id

Dengan penuh kegeraman, Jenderal Lothar von Trotha, yang menduduki pucuk pimpinan pemerintah kolonial Jerman di Namibia, menyerukan pemusnahan seluruh suku Herero dan suku Nama pada tahun 1905. Tentara Jerman kemudian mengintai, mengepung, dan menyerbu perkampungan kedua suku itu. Ribuan orang yang berasal dari kedua suku itu pun ditangkap dan dijebloskan di kamp-kamp militer.

Selama di kamp-kamp itu, mayoritas tewas akibat kelaparan dan cuaca yang buruk. Tak hanya itu, tentara Jerman juga memenggal sejumlah kepala dan mengirim tengkoraknya ke Jerman untuk bahan penelitian ilmiah. Biarpun sudah seabad berlalu, peristiwa kelam itu telah menumpahkan “tinta hitam” pada buku sejarah dunia.

Apa yang dilakukan oleh tentara Jerman itu disebut sebagai genosida. Dalam hukum internasional, genosida termasuk kejahatan perang yang sangat keji. Betapa tidak! Sewaktu mengalami genosida, suatu kelompok tak hanya terusir dari tanah tumpah darahnya, tetapi juga terenggut hak hidupnya, seperti akses keamanan, pendidikan, dan pekerjaan. Bahkan, yang lebih parah lagi, bisa terjadi pembunuhan masal, seperti yang dialami suku Herero dan suku Nama.

Genosida sebetulnya tak hanya terjadi di kalangan umat manusia tertentu, tetapi juga di dalam bahasa. Hanya bedanya, yang “punah” akibat genosida itu wujudnya “tuturan” yang bisa dicerap lewat indera visual dan audial saja, bukannya orang.

Dalam sejumlah kasus, kepunahan bahasa lebih disebabkan oleh faktor alam. Sebagai contoh, bahasa Bo, yang dituturkan oleh masyarakat dari pulau-pulau Andaman, mengalami kepunahan lantaran jumlah penuturnya yang terus menyusut.

Selain bahasa Bo, ada banyak bahasa lainnya yang juga terancam punah, seperti bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno dan Te'un.

Semua itu terjadi secara alami lantaran mayoritasnya penuturnya, yang berjumlah kurang dari 100, sudah sepuh, sementara generasi muda sudah meninggalkan bahasa tersebut dan beralih menuturkan bahasa lainnya. Oleh sebab itu, bahasa-bahasa itu sukar bertahan lebih lama.

Akankah bahasa Indonesia juga mengalami kepunahan, seperti bahasa Bo? Bisa saja. Namun, hal itu tampaknya baru akan terjadi berabad-abad lamanya lantaran bahasa Indonesia masih dituturkan lebih dari 100 juta orang. Dalam tingkat keadaan bahasa yang disusun oleh UNESCO, bahasa Indonesia pun masih termasuk “aman” dari kepunahan.

Namun demikian, tanda-tanda “tergerusnya” bahasa Indonesia kini sudah mulai terlihat. Ibarat sebuah jalan raya, bahasa Indonesia adalah sebuah sarana komunikasi yang menghubungkan antarbangsa di nusantara. Dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia, kita dapat berkomunikasi dengan mudah lewat bahasa Indonesia.

Buktinya tentu bisa kita lihat di Kompasiana. Kita mengetahui kalau para kompasianer itu berasal dari wilayah yang berbeda, suku yang berbeda, dan latar belakang yang juga berbeda. Namun, mengapa kita dapat saling bertegur sapa dengan lancar di Kompasiana? Ya, karena kita sudah dipersatukan oleh bahasa Indonesia. Jadi, sebetulnya bahasa Indonesia mempunyai andil besar dalam menjaga persatuan.

Namun demikian, suatu saat sebuah jalan pun dapat “retak”. Apalagi kalau sering dilintasi oleh truk-truk besar, bisa-bisa jalan itu bertambah rusak, atau bahkan malah “amblas”. Hal yang sama juga akan terjadi dengan bahasa Indonesia kalau penuturnya sendiri enggan merawatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline