Lihat ke Halaman Asli

Adica Wirawan

TERVERIFIKASI

"Sleeping Shareholder"

Sisi Lain “Tradisi” Kondangan Masyarakat Tionghoa di Bekasi

Diperbarui: 14 September 2016   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

suvenir yang diperoleh dari acara pernikahan pada tanggal 4 September 2016 di Bekasi/ dokumentasi pribadi

Masyarakat Tionghoa di Bekasi mempunyai “tradisi” kondangan yang unik. Keunikan itu terkuak sewaktu saya terlibat diskusi ringan dengan orangtua saya soal resepsi pernikahan yang akan dihadiri. Pada tanggal 4 September 2016, saya memang mendapat “tugas” untuk mewakili kehadiran orangtua saya dalam acara pernikahan kerabat keluarga. Hal itu terjadi lantaran pada tanggal yang sama, orangtua saya pun mendapat undangan pernikahan di tempat lain. Akhirnya kami bersepakat membagi “tugas” supaya semua undangan tersebut dapat terpenuhi.

Sebelum berangkat, saya bertanya kepada orangtua saya soal dana yang akan dimasukkan ke angpao. “Beri 200 ribu,” kata orangtua saya. Tidak biasanya orangtua saya memberi nominal itu untuk sebuah resepsi pernikahan. Lantaran merasa penasaran, saya pun bertanya, “Mengapa dikasih segitu?”

Orangtua saya menjawab kalau keluarga pengantin yang melangsungkan resepsi pernikahan itu pernah menghadiri upacara perkabungan anggota keluarga kami beberapa tahun yang lalu. Dalam acara itu, mereka memberi dana sekian ratus ribu. Jadi, menurut orangtua saya, kami harus “memulangkan” uang yang pernah mereka berikan pada tempo lalu. Dengan memberi sejumlah uang untuk acara pernikahan itu, orangtua saya merasa telah membayar “utang” yang pernah diterima dulu.

Saya pun bertanya-tanya, “Mengapa dana yang diberikan secara sukarela bisa dianggap sebagai ‘utang’, yang suatu saat harus dikembalikan berapapun nominalnya?” Sewaktu saya mengajukan pertanyaan itu, orangtua saya hanya menjawab singkat: “Sudah tradisi.”

Iseng-iseng saya mencari “tradisi” yang dimaksud di internet. Namun, saya belum menemukan informasi yang mampu menjelaskannya. Saya pun mengaduk-aduk rak buku, mencari sejumlah buku tentang kehidupan masyarakat Tionghoa, tetapi hasilnya tetap sama. Nihil. Tampaknya belum ada kajian yang mengupas perilaku sosial itu.

Biarpun demikian, tanpa sengaja, saya membaca salah satu bab dalam buku The Art of Thinking Clearly karya Rolf Dobelli. Kemudian saya merasa menemukan “fenomena” yang sesuai untuk menerangkannya. Fenomena itu adalah reciprocity alias “timbal-balik”.

Fenomena Timbal-Balik menyatakan bahwa kita cenderung membalas perbuatan yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri kita. Fenomena tersebut tentunya dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya begini. Kita ingin status yang kita tulis di media sosial mendapat banyak respon dari para sahabat. Kita ingin status tersebut memperoleh banyak “jempol” dan terus di-share lantaran isinya sungguh inspiratif.

Namun, bagaimana caranya? Apakah kita hanya perlu duduk tenang sambil berharap orang-orang membaca tulisan kita dan memberi banyak komentar positif? Ternyata tidak! Cara itu tak akan berhasil untuk sejumlah situasi. Namun demikian, agar memperoleh lebih banyak respon positif, terlebih dahulu kita harus aktif me-like dan memberi komentar positif di status yang ditulis orang lain. Itu saja. Lambat laun, mereka pun akan membalas perbuatan kita dengan merespon status yang kita tulis.

Tindakan “berbalasan” itu tentunya menunjukkan perbuatan yang wajar. Sejak zaman dulu, nenek moyang kita juga sudah melakukannya lantaran itu adalah salah satu strategi bertahan hidup. “Tanpanya, manusia—dan banyak sekali spesies binatang—sudah lama punah,” tulis Rolf Dobelli. Sebagai contoh, sewaktu mendapat makanan berlebih, nenek moyang kita cenderung membaginya kepada keluarga dan tetangga. Semua itu dilakukan dengan harapan bahwa suatu saat kelak, terutama sewaktu susah memperoleh makanan, mereka pun akan menerima makanan berlebih dari orang lain, sebagai balasan atas “budi baik” mereka pada masa lalu.

Fenomena itulah yang tampaknya mendasari “tradisi” kondangan masyarakat Tionghoa di Bekasi. Saat satu keluarga mengadakan sebuah acara, keluarga lain akan menghadiri acara tersebut dan memberi sumbangan. Pun sebaliknya. Semua itu seolah telah menjadi sebuah “kesepakatan” di kalangan masyarakat Tionghoa.

Memang tidak ada catatan tertulis yang menandai kesepakatan itu. Namun demikian, kesepakatan itu terjadi secara alamiah, dan sampai sekarang masih terus dilaksanakan. Semua itu dilakukan atas dasar rasa kekeluargaan yang erat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline