“Listen with ears of tolerance! See through the eyes of compassion! Speak with the language of love.” ― Rumi
Pada tanggal 22-26 Juni 2016 saya terpilih mengikuti acara “Sosialisasi Penanggulangan Paham Radikalisme dalam Lembaga Keagamaan Buddha di Jawa Barat”, yang diselenggarakan oleh Bimas Buddha, Kementerian Agama Republik Indonesia. Seminar tersebut dilaksanakan di Hotel Amaroossa, yang terletak di pusat Kota Bekasi. Saya datang mewakili Patria. Patria adalah Pemuda Theravada Indonesia, yang sudah berkiprah selama 20 tahun.
Sewaktu saya sampai di lobi hotel sekitar jam dua siang, teman-teman saya, yaitu Maya, Desti, Mentari, Bagus, dan Kevin, duduk-duduk di sofa yang disediakan oleh pihak hotel. Mereka menyodori saya sebuah kuesioner, yang berisi daftar pertanyaan seputar radikalisme. Saya mengisi kuesioner itu berdasarkan pemahaman saya. Kuesioner tersebut kemudian dikembalikan ke panitia untuk diperiksa dan didata sehingga panitia mampu mengukur tingkat wawasan peserta seputar radikalisme.
Acara baru dimulai pada pukul enam sore. Setelah selesai menyantap makan malam, para peserta seminar berkumpul di sebuah ruangan audiotorium. Saya dan teman-teman duduk di kursi baris depan. Sementara panitia tengah menyiapkan acara pembukaan, saya mengamati situasi. Pada acara itu telah hadir beragam orang yang berasal dari organisasi keagamaan yang berbeda, seperti Gemabudhi, Pemuda Tridharma Indonesia, dan Hikmahbudhi. Secara keseluruhan, yang hadir pada acara tersebut berjumlah sekitar 60 orang.
Acara pun dimulai dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh Dirjen Bimas Buddha, Bapak Dasikin. Pak Dasikin membawakan materi radikalisme secara umum dalam slide presentasinya. Oleh sebab itu, pemahaman saya, seputar radikalisme, masih bias. Saya bertanya-tanya, “Apa sebetulnya radikalisme itu? Apa betul radikalisme itu ‘biang keladi’ dari semua aksi teror yang terjadi di pelbagai belahan dunia? Kalau memang betul, lantas bagaimana saya harus menyikapi radikalisme, yang sekarang sudah menjalar melalui media sosial? Selain itu, yang juga penting, adakah cara efektif yang dapat mengatasi radikalisme yang mungkin terjadi pada masa depan?”
Saya membaca sejumlah literatur, seperti artikel dan jurnal, dan menemukan asal-usul kata radikalisme. Kata radikal yang merupakan bentuk dasar dari radikalisme berasal dari bahasa latin, radix yang berarti akar. Setelah melawati rentang waktu tertentu, kata tersebut kemudian mengalami perubahan makna.
Radikalisme bukanlah kata yang berkonotasi negatif pada awalnya. Kata tersebut awalnya disematkan kepada orang atau kelompok tertentu yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan masyarakat umumnya. Mari ambil contoh kasus Copernicus. Nicolaus Copernicus adalah seorang ilmuwan yang dicap radikal lantaran ia mengemukakan teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Teori itu dianggap bertentangan lantaran masyarakat umum sudah terdoktrin bahwa matahari mengelilingi bumi dan bukan sebaliknya. Namun, Copernicus bersikukuh terhadap teorinya yang didukung oleh hasil observasi. Ia pun harus menjalani hidup dengan bayang-bayang hukuman akibat dianggap berpikiran terlalu radikal pada masanya. Kini kita semua mengetahui bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya. Apa yang dilakukan oleh Copernicus, yang oleh orang lain digolongkan sebagai sikap radikal, tentunya bermakna positif lantaran ia berusaha menguak kebenaran alam semesta.
Namun demikian, kini aksi apapun yang disertai embel-embel kata “radikal” atau “radikalisme” mempunyai konotasi negatif. Semua itu terjadi lantaran media masa banyak mengaitkan kata tersebut dengan aksi teror. Oleh sebab itu, setiap kita mendengar kata “radikalisme”, terbayang di dalam pikiran kita serangkaian aksi pengeboman atau penembakan brutal yang dilakukan sekelompok orang.
Saya melewatkan seminar pada hari pertama dengan pemahaman seputar radikalisme yang masih mengawang-awang di kepala. Namun demikian, pada hari kedua, seminar terasa lebih hidup lantaran Bapak Ponijan Liaw hadir membawakan materi yang menarik. Pak Ponijan menyampaikan materi tentang organisasi kepemudaan. Dengan apik beliau menuturkan pengalamannya selagi mengurus sejumlah organisasi pemuda, sekaligus membagi “jurus” dalam mengelola organisasi.
Topik tersebut tentunya terasa relevan bagi isu radikalisme di kalangan anak muda yang aktif terlibat dalam sejumlah organisasi. Sebagaimana diketahui, kaum muda mudah terpengaruh oleh isu-isu radikalisme. Oleh karena pemikiran yang belum matang dan emosi yang masih labil, anak muda rentan dicekoki isu radikalisme yang bisa berasal dari media sosial.
Kasus pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai pada tanggal 29 Juli 2016 dapat menjadi contoh. Peristiwa tersebut berawal ketika seorang warga meminta pihak masjid untuk memperkecil volume suara speaker. Peristiwa itu kemudian disalahpersepsikan sebagai pelecehan terhadap agama sehingga menyulut konflik. Apalagi di media sosial beredar tulisan yang provokatif. Akhirnya sekelompok pemuda dari daerah lain yang terprovokasi beramai-ramai mendatangi beberapa rumah ibadah dan melakukan pembakaran.