Jika saya mengapresiasi prestasi kepemimpinan SBY dan memasukkan nama beliau pada daftar sepuluh orang yang menginspirasi saya apakah lantas bisa disimpulkan bahwa saya konstituen demokrat. Jika saya mengagumi jiwa sosialis Jusuf Kalla apakah saya mesti simpatisan Golkar. Jika saya menyukai kesederhanaan dan konsep kerja Jokowi apakah saya pasti kader PDI Perjuangan.
Saya rasa (saya rasa loh ya..,) penilaian kita pada politik sudah tak lagi proporsional. Otak kita sudah terlalu penuh dengan hal-hal negatif tentang politik (yang sepertinya memang dibuaut demikian oleh media). Ketika kata 'politik' disebut, presepsi awal yang muncul adalah politik itu najis, hitam, kotor, bacin. Dan hal ini sudah sangat akut menjangkit seluruh elemen masyarakat negeri ini. Yap, seluruh.!! mungkin cuma mereka yang politikus yang tidak beranggapan seperti itu. Silakan Anda bayangkan, mulai dari tukang becak, penjual bakso, OB, karyawan, petani, mahasiswa, dosen, doktor, Profesor, ustadz, pastor, pengusaha, pramugari (heh?), semuanya akan punya jawaban yang sama tentang pendapat mereka pada politik (praktis). Saya kok yakin jika LSI mau menyurvei manusia Indonesia tentang kepeduliannya pada politik, dan pendapatnya pada politik, jawaban mayoritasnya adalah apatis dan apriori.
Normatifnya adalah seseorang yang semula ditokohkan, dimuliakan, dihormati, akan kehilangan sebagian martabatnya saat memutuskan masuk politik. Publik menjadi kehilangan objektivitasnya dan jadi sensitif. Loh kok Pak Anu masuk politik.? Loh kok Pak Anu masuk partai itu?. Loh kok.? That is our politics view. Kita sudah sampai tahap merasa wajar jika ada pemberitaan media tentang ulah anggota DPR yang kekanak-kanakan, amoral, tukang tidur waktu sidang, korup dll. Sebaliknya, kita akan merasa aneh, janggal, dan heran jika ada pemberitaan bahwa ada anggota DPR yang berprestasi, moralis, pekerja keras (emang ada ya media yang memberitakan hal macam ini, saya belum pernah denger). Kalaupun ada, kita lebih akrab dan nyaman menyebutnya pencitraan. Again! That is our politics view. Lantas apakah 550 orang di Senayan itu sama? Iyakah?
Saya pikir-pikir, saya amati, saya renungi, ternyata hal itu wajar-wajar saja. Y(why)?. Karena parameter (kebanyakan dari) kita pada suatu keberhasilan kepemimpinan (dalam konteks politik praktis) amatlah sederhana. Hal sederhana yang belum mampu dicapai para pemimpin kita. Jika pada pemerintahan Megawati kita adalah penjual bakso dengan penghasilan pas-pasan dan tetap sama saja pada pemerintahan SBY maka SBY gagal mensejahterakan kita. Jika pada masa pemerintahan bupati yang lama kita belum punya mobil dan tetap saja kita belum punya mobil pada pemerintaha bupati setelahnya maka dia gagal memakmurkan kita. Jika gaji kerja kita sebulan satu juta dan tak juga beranjak naik maka bagaimana kita bisa berkata kalau pemimpin kita berhasil. Kita akan sepakat bilang seorang pemimpin berhasil jika pendapatan kita naik beberapa kali lipat, harga-harga kebutuhan menjadi murah. sederhana kan? Toh janji-janji mereka para calon pemimpin saat kampanye sama saja. Entah dari partai manapun sama. Seragam. Pendidikan gratis, kesehatan gratis, harga murah, lapangan pekerjaan luas, BBM murah etc. Jadi kalau dapat disimpulkan dalam satu kalimat, sebenarnya tugas para pemimpin kita simpel saja. MENJADIKAN KITA SEMUA KAYA..!!! (silakan angkat tangan yang tidak sepakat). Parameternya cukup itu saja. Bagaimanapun caranya terserah, toh mereka yang mengklaim dirinya lebih mengerti.
Anda punya hak prerogatif untuk tidak sepakat.
Malang, 13-November 2012
09.48 WIB
Adib Yabani,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H