Kita semua tahu betapa menjalar dan megakarnya budaya korupsi di negeri ini. Dari pemerintahan pusat hingga daerah bahkan sampai lingkup RT. Jika yang di pusat ramai-ramai korupsi tentang wisma atlet lha yang di RT pada sibuk nepotisme jatah raskin hingga BLT. Yang di kecamatan sibuk melakukan pungutan liar pembuatan KTP dan KK. Belum lagi yang di polres. Dan semuanya bersuara, beretorika sampai berkonsep tentang pemberantasan korupsi. Akan tetapi entah mengapa berita klise tentang KKN terus saja menggema di media. Selalu ada saja seakan tak pernah habis kabar-kabar tentang KKN yang seringkali dilakukan berjamaah dan tersistem. Suatu sistem korup yang tak kalah baik dengan sistem pemberantasannya. Saya kadang heran, orang cerdas di negeri ini sudah inflasi tapa masak ya tidak ada yang mampu membuat konsepsi pemberantasan korupsi yang benar-benar sampai tuntas. Atau memang watak kita, tanpa memandang latar belakang intelektualitas? Entahlah.
Jika kita berbicara tentang KKN tentu hal ini mencakup sistem yang kompleks. Tidak terbatas pada hukum saja, tapi juga tentang sistem politik, pendidikan, sampai ekonomi. Bukan rahasia jika politik kita sekarang sudah dikomersilkan, begitu pula dengan peendidikan apalagi ekonomi. Praktek suap-menyuap dalam politik sudah menjadi ritual wajib. Dalam pendidikan, suap untuk menjadi guru PNS sudah lumrah. Dalam ekonomi, suap para perusahaan untuk mengakali pajak sudah tradisi. Lha apalagi yang disangkal jika watak bangsa kita ini memang korup.
Yang kemarin bersuara mencela KKN, esoknya ia yang melakukan. Yang kemarin berkampanye tentang konsepsi pemberantasannya, esoknya dia pula yang nongol di tipikor. Saya kadang ngayal, ya sudahlah jika watak itu sudah menjadi sindrom generasi yang duduk di kursi sana. Setidaknya generasi yang sekarang harus memutus tus putus tradisi itu.
Parahnya, melihat sistem, tradisi dan budaya sekarang ini saya kadang juga merasa, kita – generasi muda—memang diciptakan, dibentuk, diupayakan untuk melanjutkan tradisi korup itu. Lha bagaimana tidak, para siswa ditekan untuk lulus UN oleh sistem. Sementara kualitasnya belum mapan. Akhirnya guru menginstruksikan pada siswa yang pandai untuk ‘membantu’ kawannya. Yang seperti ini apa ya tidak didik untuk berwatak pragmatis dan bermental korup? Pendidikan dari dasar sampai universitas mengajarkan tentang teori-teori kehidupan tapi tidak memberi asupan moral. Dosen bersuara lantang, “ini adalah teori pelaporan pajak, teori bernogosiasi, teori komunikasi sosial”. Lha seumpama asupan moralnya tidak ditekan apa bedanya para dosen itu dengan berkata, “Ini adalah teori ngibulin negara, teori bohongi rekan, teori mendustakan masyarakat”. Apa beedanya? Lantas apakah yang seperti ini tidak mengupayakan mencetak kader korup yang lebih kompeten?
Itu baru dari sisi pendidikan saja. Dari segi hukum juga sama. Orang-orang yang kemarin mencela koruptor di Jakarta Lawyers Club, esokya diciduk KPK. Maling ayam dengan maling uang negara hukumannya sama. Maling ayam ditangkap langsung dijebloskan ke sel. Lha maling uang negara ngumpet-ngumpet dulu ke luar negeri yang pastinya menyedot anggaran negara untuk memburunya. Jika sudah terpojok bisa seenaknya nyewa pengacara handal dan nyuap jaksa. Dan akhirnya hukumannya sama dengan maling ayam berkat keajaiban pengacara dan impotensi jaksa. Padahal, jika ditilik dengan kerangka sosiogis kenapa orang itu mau mencuri ayam ya akibat ulah para koruptor itu. Uang pendidikan dikeruk, anggaran kesejahteraan dirampok, lahan pekerjaan sempit, akhirnya ya nyolong ayam, nyolong singkong, nyolong sandal. Lantas apakah nyolong ayam, nyolong singkong, nyolong sandal itu bukan memang sudah ada yang membentuk, sudah diskenariokan?
Apakah masih perlu saya jabarkan lagi dari segi yang lain?Aggrrrhhh, rasanya seperti halnya saya, Anda pun sudah muak dengan budaya macam ini. Akan tetapi, sistem, budaya dan tradisi bangsa kita memang seperti itu. Mencetak kita secara halus dan tanpa sadar untuk bermental dan berwatak korup. Dan sangat bisa jadi sebab sistem yang seperti ini saya juga Anda adalah kandidat koruptor berikutnya. Ya…, jikalah kita memang jadi koruptor setidaknya kita harus lebih kompeten dari generasi di kursi sana. Lebih sadis dan menyengsarakan. Ya, mudah-mudahan saja. Atau ada pilihan lain? Entahlah.
Malang, 8 Mei 2012
09.05 WIB
*) Tinggal di Pesma Firdaus Malang
Mahasiswa Universitas Brawijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H