Lihat ke Halaman Asli

Maraknya Aksi Tawuran Peserta Didik Bukti Belum Tercapainya Pendidikan Karakter

Diperbarui: 19 Juni 2017   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara masalah pembentukan karakter pasti tidak akan pernah lepas dari yang namanya pendidikan, John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membuka serta membentuk disiplin hidup. 

Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan (lihat Jalaludin 2003, 67). Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, mendefinisikan pendidikan sebagai suatu upaya maksimal seseorang atau kelompok orang dalam mempersiapkan peserta didik agar ia hidup sempurna, bahagia, cinta tanah air, fisik yang kuat, akhlak yang sempurna, lurus dalam berfikir, berperasaan yang halus, terampil dalam bekerja, saling menolong dengan sesama, dapat menggunakan fikirannya dengan baik melalui lisan maupun tulisan, dan mampu hidup mandiri (Syahidin 2009, 38).

Pengertian ini sejalan dengan rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 :

Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan (Muslich 2011, 70). Menurut Griek mengemukakan bahwa karakter dapat didefinsikan sebagai paduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan orang yang lain (Zubaedi 2012, 9). Dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat sedemikian rupa, sehingga "berbentuk" unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.

Dalam Islam karakter sering disebut dengan istilah akhlak mengutip pendapat Ibnu Maskawaih diartikan sebagai, hal linnafs da'iyah laha ila af'alihamin ghair fikrin wa laa ruwayatin (sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi) (Nata 2013, 164). Sedangkan Ahmad Tafsir perpendapat sama karakter itu sama dengan akhlak dalam pandangan Islam. Ahmad Tafsir juga menegaskan bahwa pendidikan karakter itu sangat penting, karakter merupakan penanda bahwa seorang layak atau tidak layak disebut manusia, dan pendidikan karakter itu adalah tugas semua orang, termasuk lembaga pendidikan Islam (Majid dan Andayani 2012, vi). Ada 18 nilai-nilai dalam membentuk karakter peserta didik yaitu,

  • Jujur,
  • Toleransi,
  • Disiplin,
  • Kerja keras,
  • Kreatif,
  • Mandiri,
  • Demokratis,
  • Rasa Ingin Tahu,
  • Semangat Kebangsaan,
  • Cinta Tanah Air,
  • Menghargai Prestasi,
  • Bersahabat/Komunikatif,
  • Cinta Damai,
  • Gemar Membaca,
  • Peduli Lingkungan,
  • Peduli Sosial,
  • Tanggung Jawab
  • Religius. 

Ketika pendidikan di Indonesia sedang gencar-gencarnya untuk membentuk karakter peserta didik melalui pembelajaran di sekolah ternyata kenyataan di lapangan sudah banyak fenomena kemerosotan moral akhir-akhir ini menjangkit sebagian generasi peserta didik, hal ini dilihat sudah maraknya aksi tawuran yang dilakukan sebagian dari peserta didik berbagai sejata tajam digunakan dalam aksi tawuran tersebut. 

Bahkan aksi tawuran dilakukan pada bulan suci ramadhan walaupun dari peserta didik sudah ada yang tertangkap oleh pihak keamanan akan tetapi hal ini tidak membuat efek jera bagi peserta didik dan aksi tawuran tetap saja terjadi di kalangan peserta didik. dari fakta di atas, contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi dan sudah tergambar jelas bahwa dengan maraknya aksi tawuran yang dilakukan oleh peserta didik menunjukkan belum tercapainya pendidikan karakter. Ini menjadi tanda tanya besar dalam hati siapa yang harus kita salahkan ? apakah kita akan menyalahkan sistem yang sudah ada pada saat ini ? ataukah kita akan menyalahkan tenaga pendidik yang ada di sekolah ?

Menurut hemat penulis kita tidak bisa memandang dari satu sisi saja, konsep pendidikan karakter tidak akan bisa tercapai selama lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat tidak ada menjalin komunikasi satu sama lain. Pada lingkungan keluarga, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam membina kepribadian dan membentuk karakter generasi bangsa, khususnya anak-anak mereka (Nata 1997, 62). Anak adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga, di balik itu terdapat amanah yang besar untuk mendidik, membesarkan dan memberikan contoh perilaku yang baik terhadap anak.

Jadi orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya secara logika pertumbuhan dan perkembangan si anak pasti akan meniru dan mencotoh dari orang tuanya. Pada hakekatnya keluarga atau rumah tangga, merupakan tempat pertama dan yang utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang kemudian disempurnakan oleh sekolah. Begitu pula halnya pendidikan agama harus dilakukan oleh orang tua sewaktu kanak-kanak dengan membiasakan pada akhlak dan tingkah laku yang diajarkan agama.

Kemudian pada lingkungan sekolah, tenaga pendidik juga merupakan suri tauladan bagi peserta didik, karena tugas tenaga pendidik tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja tetapi juga dalam rangka membina dan mendidik siswanya agar memiliki akhlak mulia melalui melalui pendidikan agama Islam serta diharapkan siswa dapat mengamalkan dalam kehidupan keseharian mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline