Lihat ke Halaman Asli

Adi Bermasa

TERVERIFIKASI

mengamati dan mencermati

Menyaksikan "Diorama" Perjuangan Wartawan Indonesia di Pameran HPN 2018 Sumbar

Diperbarui: 9 Februari 2018   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.goodnewsfromindonesia.id

PAMERAN Hari Pers Nasional (HPN) di Museum Aditiawarman, dalam rangkaian puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Sumatera Barat, 8-9 Februari 2018 bagai sebuah diorama yang menggambarkan dengan jelas perjuangan wartawan Indonesia dalam memajukan bangsa ini. Begitu sulitnya masa dulu, terutama di era penjajahan yang mampu diterobos oleh para wartawan pejuang yang hanya 'bersenjatakan' pena dalam menerbitkan surat kabar.

KOMPAS zaman dulu. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Dengan bermodalkan semangat membara, tokoh pers 'era penjajahan' mampu menggelorakan semangat perjuangan untuk memajukan negeri tercinta ini. Sungguh tidak mungkin rasanya, pada era masa sulit, tokoh pers hebat mampu menerbitkan surat kabar. Tapi itulah faktanya yang tentu menimbulkan decak kagum.

Rohana Kudus dan Adinegoro, tokoh pers nasional asal Sumbar. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Maklum, di zaman penjajahan mana ada investor punya uang banyak mensponsori terbitnya media massa. Namun begitulah, perjuangan berjibaku wartawan zaman dulu sungguh luar biasa. Itulah yang ditampilkan dalam pameran HPN. Sayang, pameran itu tampaknya belum begitu banyak pengunjungnya meski pada hari libur sekalipun. Termasuk wartawan 'zaman now' yang mungkin belum punya waktu untuk melihat dari dekat pameran tersebut.

'Koran Hangtuah', terbit di Padang. (FOTO: DOK. PRIBADI)

'Koran Penerangan' dengan wartawannya yang terkenal Kamardi Rais. (FOTO: DOK. PRIBADI)

'Koran Singgalang' dengan pendirinya Nasrul Siddik, Nazief Basier, Salius, dan Basril Djabar. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Dari perjalanan sejarah pers di Indonesia, tergambar bahwa pameran ini punya makna yang dalam. Wartawan memang manusia langka. Hidupnya dari zaman ke zaman terbilang sederhana meski idealisme menyuarakan kebenaran dan keadilan selalu membara dalam sanubarinya. Sejarah perjuangan wartawan Indonesia sungguh tidak terbantahkan mengalami pahit getir di tengah perputaran roda zaman yang terus berubah.

Mesin tik, alat utama membuat berita di 'zaman baheula'. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Hal itulah yang juga ditampilkan dalam pameran pers, betapa getir dan pahitnya kehidupan dan perjuangan wartawan masa dulu. Berhadapan dengan penguasa yang marah karena dikritik adalah 'hal biasa'. Media diberangus bukan sesuatu yang mengherankan. Wartawan dibentak bukan peristiwa langka.

Radio, sumber berita nasional dan internasional ujntuk diterbitkan di surat kabar. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Itu dulu. Kini, wartawan 'zaman now' sudah hebat, terutama pemilik media. Punya jet pribadi sudah lumrah. Namun, nasib wartawannya yang idealis dan tetap punya pendirian kokoh mungkin masih banyak yang belum mengalami 'perubahan' berarti.

Buya HAMKA, tokoh pers Islam terkemuka. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Rugi besar kalau wartawan tidak berminat menyaksikan pameran perjalanan Pers Indonesia. Bergegaslah ke museum Aditiawarman, Jalan Diponegoro, depan Hotel Inna Muara, Padang. Sebab, pameran pers ini entah kapan akan bisa disaksikan lagi di Sumatra Barat. *

Mesin cetak koran zaman dulu. (FOTO: DOK. PRIBADI)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline