Ini peristiwa baru di Sumatra Barat. Membangun 1.000 jamban (WC) untuk warga miskin dilakukan dengan sistem bergotongroyong. Tidak ada paksaan dalam pelaksanaan program ini. Siapa bersedia silahkan berpartisipasi.
Hingga saat ini, masih banyak warga miskin yang mendiami rumah sederhana, dikontrak atau milik sendiri, baik di perkotaan maupun di pedesaan atau pedalaman. Warga miskin yang bermukim di kota pun masih ada yang buang air besar menggunakan sistem 'asoy terbang'. Maksudnya, mereka buang air besar di tempat sunyi dan tidak kelihatan oleh orang lain memanfaatkan kantong plastik. Selesai buang air besar, kantong plastik itu dibuang ke lokasi ‘tersuruk’, seperti semak-semak, pinggir laut, selokan, atau ke dalam areal belukar.
Sedangkan di pedesaan, warga dhuafa yang belum punya WC, sudah mentradisi 'melepas' hajat di sungai, selokan, kolam, atau di tempat lain yang juga tersuruk dan tidak terlihat orang. Celakanya, bagi mereka yang buang air besar tapi air sulit mendapatkannya, tentu rumit jadinya. Oleh karena itu, sering dipakai dedaunan. Namun dipastikan cara demikian tidak sanitasi dan higienis. Begitulah kondisinya.
Problema warga dhuafa itu tampaknya diketahui Prof. DR. Haryono Suyono yang merupakan Ketua Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejaheraan Sosial (DNIKS). Dia lantas menawarkan program pengadaan jamban bagi masyarakat dhuafa kepada Ketua Umum Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) Sumatra Barat, Hj. Nevi Irwan Prayitno.
Barulah di era DNIKS dipimpin Prof. DR. Subiakto Tjakrawerdaya, program jamban dhuafa itu dilaksanakan dengan sistem gotongroyong.
Dalam rapat LKKS Sumbar yang dipimpin Ketua Umum Hj. Nevi Irwan Prayitno, di Gubernuran Sumbar, beberapa waktu lalu, disepakati penanggungjawab program adalah H. Parlagutan M.Si dengan Ketua Pelaksananya penulis sendiri.
Karena programnya sistem gotongroyong, maka dipublikasikanlah secara luas sehingga bermunculan 'donasi' untuk kesuksesan program itu. DNIKS Jakarta juga berkenan menyumbangkan 'leher angsa’ untuk WC sebanyak 1.000 buah.
Dari Sumatra Barat, PT Semen Indarung menyumbang 5.000 zak semen untuk 1.000 WC. Sebanyak 5 zak untuk satu unit WC/jamban. Upah tukang untuk 1.000 WC tersebut dijamin oleh Baznas Sumatra Barat. Pekayuan dijamin Baznas kota dan kabupaten setempat, termasuk atapnya. Sedangkan polongan pembuangan dijamin pihak famili warga dhuafa yang mendapatkan WC tersebut.
Menariknya, 'sistem sato sakaki' begitu terlihat dalam program tersebut. Tercatat, di Kabupaten Solok yang menjadi lokasi pertama program ini pada pertengahan Februari lalu, langsung pihak AQUA yang berinvestasi di kabupaten itu menyumbang ribuan hollowbrick.
Selanjutnya di Pasaman Barat juga demikian. Investor perkebunan di sana juga berpartisipasi menyukseskan program jamban dhuafa itu. Menyusul daerah lainnya. Dipastikan, banyak pihak berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Oleh karena itu, diharapkan program pengadaan 1.000 jamban dhuafa ini dapat selesai dalam tempo 2-3 bulan.