Lihat ke Halaman Asli

Adi Bermasa

TERVERIFIKASI

mengamati dan mencermati

Jembatan Ratapan Ibu, Antara Kehebatan dan Kekejaman Belanda

Diperbarui: 13 Juli 2016   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JEMBATAN Ratapan Ibu yang dibangun sekitar 200 tahun lalu masih berdiri kokoh di atas Batang Agam yang melintasi kota Payakumbuh. Bukti kehebatan arsitek Belanda (DOK. PRIBADI)

Harus diakui, arsitek Belanda luar biasa. Banyak bangunan peninggalan Belanda yang hingga kini masih berdiri kokoh. Salah satunya adalah Jembatan Ratapan Ibu yang saat ini usianya sudah mendekati 200 tahun. Jembatan itu sama sekali belum ada tanda-tanda keropos atau mengalami kerusakan. Padahal, alat berat, truk, serta kendaraan bermotor tak terbilang banyaknya melintasi jembatan yang terletak di tengah Kota Payakumbuh itu.

Konon, tidak ada yang sanggup meruntuhkan jembatan tersebut. Bahkan, jembatan beton permanen itu sejauh ini masih terlihat kokoh meski sudah sering digoyang gempa.

Pernahkah ketahanan Jembatan Ratapan Ibu itu diteliti alasan sedemikian kuat dan kokohnya? Berapa campuran semen, pasir, kerekel, batu dan bahan lainnya yang digunakan Belanda untuk membangun jembatan itu?

Ratusan tahun lalu, saat jembatan itu dibangun dipastikan belum ada alat modern untuk mengaduk bahan bangunan seperti yang ada di zaman sekarang. Namun nyatanya jembatan itu kokoh luar biasa. Lain dengan masa sekarang, sedikit saja negeri ini dihondoh 'galodo', semuanya berantakan. Jembatan hanyut, roboh, putus, dan tergaing-gaing. Bahkan, rata-rata usia jembatan buatan 'Si Melayu' ada kalanya berusia sangat pendek. Belum dipakai dan diserahterimakan sudah ada yang rusak. Belum selesai direhab, galodo tiba lagi, hancur berkeping-kepinglah jembatan malang itu.

Pernah ‘ayatullah wartawan Indonesia’, H. Rosihan Anwar, menulis dalam Koran HALUAN puluhan tahun silam, bahwa semua bangunan yang cepat rusak itu adalah buatan tukang 'Si Melayu'. Sementara bangunan yang kokoh berdiri dan selalu terjauh dari kerusakan umumnya dikerjakan tukang 'non-Melayu'. Salah satu di antaranya adalah Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh tersebut.

Rosihan Anwar ketika itu sangat bangga dengan dibangunnya jalan Lintas Sumatra era Presiden Soeharto dari Muarokalaban Sijunjung sampai ke Lubuklinggau Sumatera Selatan oleh kontraktor asing. Hasil kerjanya sangat bagus. Rakyat percaya, kalau Rosihan Anwar sudah mengatakan bagus, lewat tulisannya, hal demikian pasti kenyataan. Gubernur Sumbar kala itu, Prof. Harun Zain, sangat paham kalau Rosihan Anwar sudah menulis tentang kondisi bangunan jalan Lintas Sumatra, pemerintah langsung mengamininya.

Khusus Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh sebagai simbol keperkasaan Belanda, apakah hanya sekadar untuk dinikmati saja kekokohannya? Apakah arsitek Indonesia atau Kementerian PUPR dengan tenaga ahli yang luar biasa banyaknya tidak berminat meneliti jembatan tua yang kokoh itu? Apakah bangsa ini sudah puas dengan beragam bangunan bernilai miliaran rupiah yang runtuh seketika pada musim bencana? Seperti ambruknya jembatan baru Kutai Kartanegara Kalimantan Timur yang porak -poranda dihantam air bah dari rimba pedalaman Borneo? Banyak lagi jembatan baru hancur berkeping-keping di negeri ini.

Di Sumatera Barat saja, pada musim galodo masih ada jembatan yang hançur dan sampai sekarang belum diperbaiki. Di antaranya yakni di Pasir Jambak, Padang. Begitu juga di Solok Selatan dan sangat banyak jembatan yang dibangun 'Melayu' di berbagai lokasi di Indonesia yang menunggu direhabilitasi karena rusak dan lapuk. Sungguh memprihatinkan.

Sangat disayangkan kalau Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh sebagai saksi sejarah keperkasaan arsitek Belanda itu tidak dijadikan bahan kajian oleh putra-putri terbaik negeri ini.

Belanda, walaupun banyak merugikan negeri ini selama 3,5 abad, namun ada juga hikmah yang perlu dipetik berupa telatennya mereka membangun proyek fisik dengan hasil yang begitu kuat dan tahan ratusan tahun.

Namun demikian, Belanda 'cingkahak' itu juga menyebalkan bagi pribumi. Sebab, Belanda yang cerdik itu juga memanfaatkan jembatan yang dibangunnya untuk membunuh putra terbaik negeri ini. Sejarah berkata, para pejuang kemerdekaan ditangkapi oleh Belanda kemudian ditutup matanya. Selanjutnya disuruh berdiri di pinggir jembatan itu lalu diberondong dengan muntahan peluru dari bedil-bedil tentara kompeni. Karena itulah jembatan itu kemudian dinamakan Jembatan Ratapan Ibu. Para ibu meratap melihat anak-anaknya dibunuh oleh tentara kolonial Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline