Lihat ke Halaman Asli

Teologi Tanah

Diperbarui: 18 April 2017   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hassan Hanafi

Sejak mempopulerkan proyek pemikiran Kiri Islam, Hassan Hanafi dan pemikirannya menjadi salah satu pemikir muslim yang banyak disorot oleh banyak cendekiawan dunia. Beberapa diantara mereka seperti Kazuo Shimogaki, Issa J. Boullatta, Azyumardi Azra, dan Abad Badruzzman adalah para pemerhati wawasan Kiri Islam yang digagas Hassan Hanafi.

Paradigma universalisme yang menjadi basis epistemologi pemikiran Hanafi menjadi titik awal kajian lanjutan tentang Kiri Islam. Setidaknya terdapat 2 pendekatan yang digunakan untuk melihat paradigma universalisme Kiri Islam; pertama, pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslim ke dalam penegakan martabat kemanusiaan. Kedua, paradigma universalisme diletakkan dalam pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan sebagai alternatif.

Berangkat dari pandangan universalisme, ruang teologi merupakan tujuan pertama yang menjadi ranah kajian, sebab teologi mempunyai peran penting dalam membentuk cara pandang umat terhadap realitas. Dengan melihat banyaknya penyelewengan atas kepemilikan dan penguasaan tanah, Hanafi ingin mengembalikan kepemilikan dan penguasaan tanah pada makna asalnya, yakni dalam konteks teologis. Atas dasar kenyataan tersebut, Hanafi mendorong untuk memasukkan persoalan tanah dalam proyek besarnya; rekonstruksi teologi Islam tradisional.

Sejarah teologi adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam kitab suci itu. Setiap ahli teologi atau penafsir melihat sesuatu dalam kitab suci itu apa yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah kitab suci. Realitas sosial dalam persoalan tanah tidak bisa dipisahkan begitu saja dari kajian keimanan. Agar teologi menjadi lebih bermakna bagi kehidupan, teologi harus mampu menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia. Dengan begitu diharapkan teologi tidak hanya duduk manis di menara gading yang keberadaannya jauh dari realitas dan pandangannya hanya dimengerti dan dipakai oleh para teolog sendiri.

Landasan Normatif-Teologis

Dimanapun tempat terjadinya konflik tanah, manusia pasti selalu menyertakan pembenaran teologis. Hal ini dikarenakan manusia sendiri memang tercipta dari tanah. [1] Sebagai anugerah Tuhan kepada manusia, tanah bukan sekedar benda tidak bergerak yang ada di luar diri mereka, namun sudah menjadi bagian yang ada dalam diri mereka sendiri. Tanah juga bukan hanya sekedar tempat tinggal atau sumber nafkah, ia juga bermakna tumpah darah, simbol kehormatan, serta identitas diri dan identitas sosial yang mampu membangkitkan romantisme bahkan radikalisme yang tak jarang berkembang menjadi medan konflik dan perjuangan manakala ada gangguan yang datang dari luar.

Pada konteks teologis, Hanafi menunjukkan bagaimana sebenarnya tanah tersebut diciptakan dan diperuntukkan bagi manusia. Dengan itu manusia menjadi sadar bahwa kepemilikan dan penguasaan tanah yang selama ini dilakukan oleh manusia telah banyak menyalahi ketentuan-ketentuan teologis atas arti tanah tersebut. Bagi Hanafi, teologi merupakan hasil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat ke dalam teks-teks kitab suci. Tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat kitab suci.

Dengan landasan normatif-teologis, Hanafi memandang kepemilikan dan penguasaan tanah adalah mutlak milik Allah SWT. Sebab, bumi seisinya adalah ciptaan Allah. Hanafi banyak mengacu kepada ayat-ayat al-Qur’an tentang kekuasaan Allah yang ada di langit dan di bumi. Jika Allah yang menciptakan, maka secara otomatis Allah pula yang memiliki dan menguasainya.

Kepemilikan Allah atas tanah tidak dapat dilepaskan dari tauhid, yang merupakan sebuah pengakuan akan kesatuan penciptaan disamping kesatuan kemanusiaan, kesatuan tuntunan hidup dan tujuan hidup. Tauhid yang dimaksud telah memberikan kepada setiap kehidupan dan tiap benda di dunia ini suatu arti dari hubungannya dengan gerak penciptaan yang dilakukan oleh Allah SWT. Allah adalah Maha Pencipta, sehingga kepemilikan Allah merupakan akibat langsung dari sifat Allah tersebut.

Landasan Historis-Teologis

Etika tauhidik yang dikembangkan Nabi Muhammad saat kedatangan Islam adalah untuk mengubah status quo serta mengentaskan kelompok-kelompok yang tertindas dan tereksploitasi (mustadz’afin). Masyarakat yang sebagian anggotanya masih mengeksploitasi anggota masyarakat lainnya yang lemah dan tertindas tidak layak disebut sebagai masyarakat Islam, meskipun mereka taat dan patuh dalam menjalankan ritualitas keagamaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline