Lihat ke Halaman Asli

Kearifan Lokal

Diperbarui: 10 April 2017   05:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syukuran Tani di Desa Korowelanganyar, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal. (sumber foto: http://jejakpenyuluh.blogspot.co.id/2013/08/kearifan-lokal-syukuran-tani.html)

Dalam sistem sosial masyarakat kuno Nusantara telah ada bermacam-macam satuan warga dalam komunitas-komunitas, yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Komunitas itu hidup berdasarkan genealogi dan asal-usul leluhur. Mereka memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam, pengetahuan, dan lembaga sosial-kemasyarakatan yang mengelola keberlangsungan kehidupannya.

Satuan masyarakat itu kemudian membentuk suatu identitas tertentu di dalam sebuah komunitas. Penyebutan identitas lokal itupun bermacam-macam, ada yang menyebut desa, nagari, kampung, gampong, lembang, dan bermacam penyebutan lainnya. Perbedaan tersebut tidak hanya menunjukkan perbedaan penyebutan, namun juga perbedaan struktur sosial, karakter sosial, budaya, dan filosofi hidup. Jadi, desa atau yang lainnya, menurut asal-muasalnya adalah suatu persekutuan sosial yang memiliki kewenangan pengaturan akan hukum. Mereka memiliki kedaulatan atas alam dan kearifan lokal masyarakat, atau sering disebut indigenous people.

Denys Lombard memberikan satu contoh konsep ruang kuno yang ada dalam masyarakat desa Jawa. Konsep ruang kuno tersebut menunjuk adanya pola struktur tata letak dusun yang disebut macapat. Sistem tata ruang ini berpusat pada satu ruang yang berada di tengah empat bagian tersebut. Inilah yang disebut dengan desa konsentris. Sistem ini mencerminkan satu keunggulan pusat, akan tetapi dengan tambahan bahwa daerah pinggirannya terbagi atas empat bagian, pat (empat), yang masing-masing berkaitan dengan salah satu mata angin. Pembagian ruang menjadi empat bagian ini dipercaya merupakan peninggalan dari suatu masa ketika masyarakat Jawa terbagi atas empat klan yang saling melengkapi. Yang sudah pasti, sistem macapat ini sudah lama berlaku di seluruh perdesaan di Jawa. (Lombard, 2000).

Di masa Orde Baru, penerapan UU Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979 hanya menjadikan desa sebagai “satuan administrasi pemerintahan” belaka. Maka jangan heran, bila saat ini lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada hanya menjadi kepanjangan tangan dari lembaga pemerintah dan desa yang berlaku secara seragam. Misalnya keberadaan LMD, LKMD, LPMD, PKK, BPD, Karang Taruna, dan lembaga lainnya. Dengan adanya lembaga kemasyarakatan baru tersebut, hak ekonomi dan hak politik masyarakat yang telah ada dihapus.

Sebelumnya, masyarakat desa dengan leluasa menguasai sumber daya alam sekitar. Mereka mengerjakan sesuatu secara bergotong-royong demi kemakmuran bersama. Namun, dengan adanya berbagai undang-undang yang ada, justru kedaulatan mereka dihilangkan. Adanya dalil bahwa “penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” terbukti telah menjadi alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan tradisi masyarakat. Akhirnya pemegang hak penguasaan adalah pemerintah, bukan komunitas masyarakat lagi.

Akibat yang ditimbulkan dari penguasaan ini adalah bebasnya pemerintah dan para pemodal mengadakan proyek-proyek yang tidak dibutuhkan warga. Banyak kita jumpai warga asli tidak lagi memiliki tanah dan tempat tinggal karena terbeli swasta. Atau, warga terusir karena pemerintah melakukan penguasaan dengan dalih kepentingan Negara. Pemerintah secara sadar telah melumpuhkan kedaulatan masyarakat atas tanah dan kekayaan alamnya.

Di bidang sosial dan budaya pun, pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat dilecehkan, dicuri bahkan dihilangkan. Pemahaman dan penguasaan masyarakat atas kekayaan alam telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan sosial-budaya. Para petani dipaksa menanam jagung atau padi yang seragam jenisnya. Digantung dalam pembelian pupuk kimia dan pestisida. Ditikam dengan rendahnya harga jual produk pertanian. Dan, dipaksa untuk menanami lahannya tiga kali dalam satu tahun, tidak ada kesempatan istirahat bagi tanah, juga kesempatan petani untuk merayakan pesta panen.

Desa saat ini tidak bisa lagi memperbarui kebudayaannya, karena persekutuan sosial pendukungnya sama sekali tidak diberi ruang. Birokratisasi “desa orde baru” hanya menghasilkan kerusakan kebudayaan yang sulit dipulihkan. Korupsi, ketidakpedulian perangkat desa, keterpurukan ekonomi warga, dan keengganan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan desa menjadi hal umum di seluruh komunitas.

Apa yang harus dilakukan oleh para penggerak dan pendamping desa untuk mengembalikan desa? Salah satunya adalah menjadikan kearifan tradisi lokal “indigenous people” sebagai basis gerakan untuk mengembalikan desa sebagai persekutuan sosial dan hukum dalam membangun gerakan sosial yang luas di masyarakat desa.

Bagaimana caranya? Pertama, mendorong gagasan masyarakat desa, dalam arti masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya alam yang melekat dengan identitas budaya dan pengetahuan lingkungannya. Pendek kata, masyarakat harus mengelola segala hal di komunitasnya. Kedua, mengembalikan masyarakat desa pada identitas hidup bergotong-royong. Ketiga, memberikan pengakuan kepada masyarakat akan entitas budaya sebagai satu kesatuan persekutuan sosial dan hukum. Keempat, menginisiasi agar hak-hak mereka diakui, dan mendorong mereka bersuara lantang serta mengambil peran secara langsung untuk mendapatkan suara dalam perebutan kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline