Judulnya bisa keren, mekanisasi. Bagi sebagian, kalau tidak boleh dibilang sebagian besar petani agraris, mekanisasi bukan semata soal cara bertani menggunakan peralatan modern. Itu bisa juga berarti petani meninggalkan dan menanggalkan tata kehidupan sosial dan interaksi dengan alam yang sudah terbàngun lama.
Bagi petani tradisional, bertani cenderung kegiatan kebudayaan, suatu ritme hidup yang berselaras dengan alam dan kehidupan sosial. Begitu misalnya traktor bekerja, atau alat pertanian canggih lainya, maka yang teraduk aduk dan tergerus, bukan hanya tanah, melainkan tata sosial budaya petani.
Demikian juga trend kuliner. Itu juga bukan sekedar urusan selera makanan. Penuhnya berbagai resto aneka makanan manca negara, adalah juga berarti gaya hidup baru yang mungkin generasi kelak asing dengan jajanan atau makanan lokal.
Fenomena gowes tampak juga bukan semata soal sepeda dan hidup sehat. Aroma pop gowes sudah tercium bau 'ekonomi' dan gengsi sosial dibalik urusan genjot menggenjot pedal sepeda.
Pun dengan 'trend gowes' dalam berbagai bidang kehidupan lain terus bermunculan dan mendikte kehidupan masyarakat. Generasi saat ini tak henti mendapatkan arahan 'rezim global' pada tata kehidupan baru yang terus bergerak 'maju' meninggalkan segala yang lama.
Sepintas ini hal biasa saja. Padahal arus kencang pop 'modern' itu akan çenderung melaju meninggaĺkan otensisitas dan identitas kelokalan tempat masyarakat lahir dan dibesarkan. Kelak mungkin akan lahir generasi baru yang tak kenal lagi sama 'ibu kandung' yang melahirkan.
Generasi baru itu sùdah jadi seragam dengan derap kehidupan global, yang diseluruh pernjuru bumi dibuat sama. Mereka makin tercerabut dari sejarah dan budayanya. Dolanan anak adalah salah satu contoh kongkret sebuah khasanah budaya yang tak dikenali lagi oleh anak anak zaman now.
Disinilah, pesan Cokroaminoto menjadì amat relevan. Ratu tanpa mahkota itu pernah bilang, "..kekalahan budaya menyebabkan terbenamnya bangsa yang kalah itu untuk selama lamanya". Sebuah Pesan yg cukup dahsat disaat corak lama kehidupan mulai banyak ditinggalkan.
Sebagai negara bisa saja tetap eksis, tapi sebagai sebuah bangsa mungkin saja sudah ‘selesai’. Keberadaan bangsa kelak, mungkin hanya bisa ditemukan dalam buku sejarah dan cerita tutur masyarakat.
Maka ketika seorang kawan bercerita distatus medsosnya tentang enaknya sayur asem, sontak saya merasa bangsa ini masih ada. Karena boleh jadi ada masa sayur asem sudah jadi makanan kuno yang bahkan tak lagi dikenali. Sayur asem hanya simbol saja, untuk mengatakan produk lokal atau budaya lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H