Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

TERVERIFIKASI

Eklektik

Dompet

Diperbarui: 3 Februari 2025   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menemukan dompetku sedang berjalan di atas genteng rumah tetangga pukul tiga pagi. 

Dompet kulit coklat tua itu melangkah pelan, tapak koin receh di sela-sela retakan genting berdecit seperti kuku kucing di atas seng. Aku tahu itu dompetku karena ada stiker "Slow Living is Dying" yang ku tempel bulan lalu, tepat di sampung kartu anggota perpustakaan yang belum pernah kugunakan. Dompet itu berjalan ke barat, ke arah bulan purnama, sementara isinya---lima puluh ribu rupiah terakhirku---berkibar seperti insang ikan lemas. 

"Hey!" teriakku, separuh tubuh menggantung dari jendela kamar mandi. Tapi dompet itu malah mempercepat langkah, melompat ke atap berikutnya, dan uang-uang kertas mulai berjatuhan satu per satu, tertiup angin malam ke arah selokan. Aku memungut gayung plastik merah di bak mandi, mengira-ngira jarak lompatan ke genteng. Tapi sebelum sempat melompat, telepon di saku celana berbunyi. 

"Kamu transfer belum?" suara Bos Besar di seberang, berat seperti batu nisan. "Klien mau DP jam enam pagi ini. Kita kena denda kalau telat."

Aku menatap dompet yang kini sudah sampai di ujung gang, uang terakhirku tinggal selembar tersangkut di jeruji jendela warung Mi Ayam. "Masih di proses," jawabku sambil membayangkan dompet itu tiba-tiba berbalik, tersenyum getir, dan berkata, "Kau pikir duitmu cukup buat jadi orang baik?" 

*** 

Seminggu sebelumnya, aku menghadiri workshop "Menjadi Pemimpin untuk Dirimu Sendiri" di sebuah co-working space yang dindingnya dipenuhi poster motivasi dengan font-font sans-serif. "Prioritasmu adalah peta jiwa!" teriak mentor di depan, seorang lelaki berkaos oblong bertuliskan "Hustle Now, Cry Later". Aku mencatat rajin di notes iPhone: Alokasi waktu vs uang = cermin kepemimpinan sejati. Tapi ketika sesi break, yang kubeli adalah kopi instan sachet dari mesin vending, bukan cold brew seharga 50 ribu seperti peserta lain. Dompetku bergetar dingin di saku.

Malamnya, aku membuat spreadsheet alokasi anggaran. Kolom "Piknik & Healing" kusiapkan 40%, tapi setelah di-total, angka itu tergerus oleh tagihan listrik yang membengkak, biaya servis laptop yang tiba-tiba ngehang saat deadline, dan diskon membership gym yang "hanya berlaku hari ini". Di tab "Pengeluaran Tak Terduga", angkanya meledak seperti bisul. Aku mematikan laptop, lalu menatap langit-langit kamar yang ternoda rembesan air hujan membentuk wajah-wajah mengejek. 

*** 

Dompetku mulai menunjukkan gejala aneh dua hari setelah workshop. Pertama, ia menolak dibuka setiap kali aku ingin mengambil uang untuk membayar paket data. "Ini demi masa depanmu," gumamnya suatu sore, suaranya seperti gesekan kertas amplas. Keesokan pagi, ia menghilang dari meja kerja, dan kutemukan di bawah bantal dengan posisi menggenggam kartu kredit seperti pisau. 

"Aku capek jadi alat hipokrisimu," protesnya saat kuremas-remas mencoba membuka resletingnya yang macet. "Kau bilang prioritasmu adalah melihat dunia, tapi uangmu selalu berakhir di gerai-gerai darurat!" 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline