Bayangkan sebuah negara dimana helm motor dijual tanpa standar? Di sini kita mengenalnya SNI. Setiap pabrik bisa memproduksi helm sesuai keinginan mereka - ada yang sekuat baja, ada yang rapuh seperti plastik mainan.
Ketika kecelakaan terjadi, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan penggunanya. Konyol? Tentu saja. Namun ironisnya, ini yang terjadi ketika kita menghapus Ujian Nasional (UN) dari sistem pendidikan kita.
Selama ini, perdebatan tentang ada atau tidaknya Ujian Nasional selalu berkutat pada argumen yang sama: stress siswa, beban psikologis, atau kecurangan dalam pelaksanaan.
Namun ada satu perspektif krusial yang sering terabaikan: standardisasi sebagai bentuk perlindungan masa depan generasi bangsa.
Standardisasi: Bukan Sekadar Angka
Ketika kita membeli helm berstandar SNI, kita membayar lebih mahal bukan untuk mereknya, tetapi untuk jaminan keamanan. Standardisasi ini melindungi nyawa pengendara.
Begitu pula dengan makanan yang harus lolos BPOM atau elektronik yang harus memenuhi standar keamanan internasional. Lantas, mengapa untuk pendidikan yang menentukan masa depan seseorang, kita justru rela menghapus standarnya?
Ujian Nasional bukan sekadar ritual tahunan yang menyiksa siswa. Ia adalah mekanisme perlindungan yang memastikan setiap lulusan memiliki kompetensi minimal yang dibutuhkan untuk bersaing di dunia nyata.
Tanpa standar ini, kita seperti melepas pesawat terbang tanpa standar keselamatan - mungkin bisa terbang, tapi siapa yang berani menjamin keselamatannya?
Realitas Dunia Global yang Tak Terbantahkan
Mari kita lihat fakta yang terjadi di lapangan. Beberapa universitas terkemuka di luar negeri mulai menolak lulusan dari negara yang tidak memiliki sistem ujian nasional.
Mengapa? Karena mereka tidak memiliki tolok ukur yang jelas untuk membandingkan kualitas antar calon mahasiswa.