"Tidak ada bangsa yang bisa mengendalikan pikiranku, sekalipun mereka mencoba mengusir ragaku."
Di atas secarik kertas yang mulai lapuk, kata-kata itu tertulis dengan tinta hitam, dan kini tersimpan di Arsip Nasional Amsterdam. Tanggal surat tersebut tertulis Maret 1930, sebuah saksi bisu dari seorang revolusioner Indonesia yang pernah mengguncang kekuasaan kolonial namun perlahan terlupakan oleh sejarah: Tan Malaka.
Di dalam ruangan berdebu di Arsip Nasional Belanda, ratusan dokumen kolonial menjadi jejak-jejak rekaman hidup seorang yang dianggap berbahaya oleh penguasa Hindia Belanda. Sebuah laporan rahasia dari pejabat kolonial tertanggal Januari 1925, menuliskan Tan Malaka sebagai sosok yang perlu diasingkan, "Tan Malaka adalah ancaman baru bagi ketertiban, orang seperti dia harus diasingkan jauh dari Nusantara." [Sumber: Arsip Kolonial Belanda No. KT-1925/013].
Tetapi siapa sebenarnya Tan Malaka? Mengapa gagasannya begitu menakutkan bagi pemerintah kolonial?
Sang Penggagas Republik
Jauh sebelum istilah "republik" akrab di telinga masyarakat Indonesia, Tan Malaka sudah memikirkan konsep ini dengan detail dan mendalam. Pada tahun 1925, ketika kemerdekaan masih tampak mustahil di bawah kekuasaan kolonial, ia menerbitkan sebuah buku berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Gagasan yang ia tulis dengan semangat penuh ini menggemakan harapan sekaligus tantangan bagi bangsanya yang tertindas.
"Revolusi adalah perubahan fundamental, bukan sekadar pergantian rezim," tulis Tan dalam sebuah catatan yang ditemukan di arsip Belanda pada Februari 1928. [Sumber: Arsip Nasional Belanda No. PM-1928/045].
Arif Zulkifli, seorang peneliti sejarah, menyebut Tan Malaka sebagai "bapak republik yang terlupakan." Sebuah gelar yang sarat ironi, mengingat dialah yang pertama kali mengemukakan ide tentang Indonesia merdeka dalam bentuk republik---gagasan yang kelak diperjuangkan dan akhirnya terwujud dua puluh tahun setelah ia menuliskannya.
Pelarian yang Tak Pernah Usai
Hidup Tan Malaka adalah rangkaian pelarian panjang. Dari Filipina hingga Tiongkok, dari Singapura ke Uni Soviet, ia terus bergerak, melangkah satu langkah lebih jauh dari agen kolonial yang memburunya.
Namun di setiap tempat ia singgah, api revolusi yang dibawanya tetap menyala. Dalam sebuah surat rahasia yang disita oleh otoritas kolonial pada April 1927, Tan menulis dengan berani, "Jangan pernah takut untuk berpikir berbeda, sebab itulah satu-satunya jalan menuju kemerdekaan sejati." [Sumber: Arsip Kolonial No. SR-1927/078].
Dalam keterasingannya yang panjang, Tan Malaka tidak pernah berhenti berbicara tentang kebebasan dan persamaan. Melalui surat-suratnya, Tan Malaka berusaha menyalakan obor keberanian di hati generasi muda Indonesia.