Bumi terasa semakin lelah. Hutan-hutan tropis yang dulu hijau kini tersisa sedikit. Lautan yang luas kini penuh sampah. Udara yang kita hirup, semakin beracun.
Kita hidup di masa di mana dampak perbuatan manusia tampak jelas pada bumi ini. Setiap hari, kita melihat tanda-tanda yang tak bisa kita abaikan.
Bencana datang lebih sering, dan kondisi cuaca tak lagi bisa diprediksi. Selamat datang di era Antroposen, zaman di mana ulah manusia telah memberi luka yang dalam pada planet ini.
Di tengah kekacauan iklim yang tak lagi bisa dipungkiri, kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita memilih pemimpin yang peduli pada bumi, atau yang justru memberi beban lebih berat pada lingkungan ini?
Sebab, pemilihan bukan hanya soal siapa yang bisa berbicara lantang. Pemilihan adalah soal siapa yang bisa bertindak bijak. Apakah mereka tahu cara menjaga bumi ini, atau apakah mereka hanya akan menambah masalah?
Apa Itu Jejak Karbon dan Mengapa Penting?
Setiap tindakan manusia di bumi ini meninggalkan jejak. Mulai dari perjalanan, penggunaan energi, hingga konsumsi sehari-hari, semua meninggalkan dampak yang nyata.
Kita menyebutnya sebagai jejak karbon. Singkatnya, jejak karbon adalah ukuran dampak yang ditinggalkan oleh kegiatan manusia terhadap lingkungan, terutama terkait emisi gas rumah kaca.
Bagi banyak orang, konsep ini mungkin terasa abstrak, namun kenyataannya, jejak karbon adalah salah satu alat ukur seberapa besar beban yang kita tinggalkan pada bumi ini.
Di negara seperti Indonesia, jejak karbon sangat terasa. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setiap tahun sekitar 480 ribu hektar hutan di Indonesia hilang, sebagian besar karena alih fungsi lahan.
Indonesia juga menjadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, berada pada peringkat keenam secara global. Emisi yang berasal dari deforestasi, pembakaran lahan, dan transportasi yang tinggi, semuanya menyumbang pada krisis ini. Tanpa tindakan nyata dari pemerintah dan pemimpin, krisis ini akan terus berlanjut.