Sebuah catatan kecil di pojok buku harian sejarah bangsa.
28 Oktober 1928. Di sebuah rumah sederhana di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, dentingan sejarah tak henti bergema. Para pemuda, datang dari berbagai penjuru, berkumpul dengan semangat yang tak terbendung.
Mereka berbeda bahasa, suku, dan budaya. Namun, di tengah segala perbedaan itu, ada satu tujuan yang mempersatukan: sebuah impian sederhana namun abadi --- untuk bersatu. Inilah titik awal dari sebuah gerakan yang kelak akan mengubah wajah Indonesia selamanya.
Di sana, satu sumpah diikrarkan. "Bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia." Sebuah janji untuk bersatu. Menjadi satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.
Di ruang yang sama, berdiri Sie Kong Liong. Nama ini jarang dikenal. Ia pemilik rumah di Kramat itu. Di tempat itu, ia menyediakan ruang. Untuk sebuah mimpi besar.
Rumah itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Banyak yang datang ke sana. Tapi sedikit yang ingat siapa pemilik rumah itu. Padahal, ia ikut menjadi saksi sejarah.
Pada tahun 1959, pernah ada usulan. Presiden Sukarno hendak memberikan penghargaan bagi Sie Kong Liong. Ia dinilai berkontribusi dalam gerakan pemuda. Tapi, seiring waktu, nama Sie tetap tenggelam.
Sering kali, nama kecil menghilang di balik sejarah besar. Orang-orang datang dan pergi di rumah Kramat 106 itu, tapi semangatnya tertinggal, bersembunyi di sudut-sudut yang terlupakan.
Dari para pemuda yang hadir, ada beberapa wajah Tionghoa. Ada Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, dan John Liauw Tjoan Hok. Mereka muda dan penuh mimpi. Mereka anggota kepanduan, membawa semangat patriotisme.
Mereka datang, bukan hanya untuk bersumpah, tapi untuk berdiri bersama. Tidak ada sekat, tidak ada identitas. Semuanya lebur dalam satu tujuan: Indonesia.