UMKM, engkau digadang sebagai tulang punggung,
Namun punggungmu lelah, membungkuk di bawah langit retak,
Mengangkat mimpi yang terjebak dalam kabut,
Di pasar yang sesak, di bawah jembatan harapan yang kian surut.
Dapatkah kau dengar gemeretak tulang-tulang ini?
Seperti batang rapuh yang menanti angin,
Mereka bergoyang, terombang di janji yang terhampar ringan.
Penjual bakso di sudut jalan,
Tenunan hidupnya dari keringat yang tak pernah dilihat,
Langit menjanjikan hujan penuh berkat,
Namun yang turun hanya angin kosong, terhisap dalam celah berat.
Di mana punggung tegak yang pernah dijanjikan?
Di mana jalan lurus tanpa liku yang selalu dinantikan?
Tulang-tulang mereka mengejar matahari yang berlalu,
Namun siang selalu bersembunyi di balik tirai kelabu.
Di lumpur kebijakan mereka tergelincir,
Menjilat debu toko besar yang pintunya tak pernah terbuka.
Tulang punggung, engkau sebut mereka,
Namun bagai ranting kering yang rapuh,
Rentan dihempas badai kebijakan yang tak berpihak.
Di ruang seminar mereka digadang sebagai pahlawan,
Namun di balik statistik, mereka bayang yang terlupakan.
Tiada sorak, hanya napas berat yang terserap di tanah gersang,
Dan kain lusuh yang menghapus air mata senyap.
UMKM, pilar ekonomi, katamu,
Namun kini apakah punggung ini telah goyah,
Seperti tulang ekor yang terlupakan,
Hanya terasa saat kita jatuh terjerembap?
Tulang-tulang yang mengais langit,
Menggendong langit yang tak pernah menurunkan pelangi.
Mereka berlari, tersandung, dan kembali bangkit,
Namun tetap tersesat di padang janji yang tak berujung.
Menunggu hari,
Yang mungkin tak akan datang esok pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H