Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

TERVERIFIKASI

Eklektik

Evaluasi Kurikulum Merdeka, Harapan Baru di Bawah Abdul Mu'ti, Tantangan Lama yang Harus Segera Diatasi

Diperbarui: 24 Oktober 2024   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nadiem Makarim dan Abdul Mu'ti dalam acara serah terima jabatan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. | gambar: detik.com

Sebagai langkah monumental dalam reformasi pendidikan, Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan tujuan memberikan fleksibilitas bagi guru dan siswa dalam menentukan arah pembelajaran.

Namun, seperti halnya setiap kebijakan besar, penerapannya di lapangan jauh dari mulus. Ketidakseimbangan infrastruktur, kompetensi guru yang bervariasi, dan ketidakjelasan alat ukur menjadi masalah yang terus menghantui sistem pendidikan Indonesia.

Kini, dengan hadirnya Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan yang baru, timbul harapan baru akan evaluasi yang lebih mendalam dan tepat sasaran terhadap Kurikulum Merdeka. Pertanyaannya, apakah kurikulum ini perlu diganti, ataukah perbaikan-perbaikan yang komprehensif bisa dilakukan untuk memastikan efektivitasnya?

Fleksibilitas atau Kebingungan?

"Kurikulum Merdeka itu bagus di atas kertas, tapi sulit diimplementasikan di daerah-daerah yang infrastrukturnya minim," ujar salah satu guru di Kalimantan Timur ketika ditanya mengenai penerapan kurikulum ini (Kompas.com, 12/10/2024).

Pernyataan ini mencerminkan keluhan utama para pendidik di banyak wilayah di Indonesia. Pada dasarnya, Kurikulum Merdeka didesain untuk memberikan otonomi kepada guru dalam menyesuaikan metode pengajaran sesuai kebutuhan siswa, namun masalahnya terletak pada kapasitas sumber daya manusia yang belum merata.

Di kota-kota besar dengan akses yang baik terhadap teknologi dan pelatihan, guru mungkin dapat memanfaatkan kebebasan ini untuk menciptakan pendekatan inovatif di kelas. Namun, di daerah-daerah terpencil, di mana akses terhadap internet saja terbatas, otonomi semacam ini justru menjadi beban tambahan. Banyak guru yang kebingungan dalam menyesuaikan kurikulum, terutama ketika mereka sendiri tidak mendapatkan pelatihan yang memadai (Katadata.co.id, 15/10/2024).

Abdul Mu'ti perlu memfokuskan evaluasinya pada kesenjangan ini. Fleksibilitas memang penting, tetapi harus ada panduan yang lebih jelas dan pelatihan yang komprehensif untuk memastikan semua guru, baik di perkotaan maupun pedesaan, mampu menjalankan Kurikulum Merdeka secara efektif. Tanpa hal tersebut, kurikulum ini justru berisiko meningkatkan ketimpangan pendidikan antara daerah maju dan tertinggal.

P5: Pendidikan Karakter atau Beban Tambahan?

Salah satu pilar dari Kurikulum Merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang bertujuan membentuk karakter siswa sesuai nilai-nilai Pancasila. Meski tujuan ini terpuji, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa P5 mengambil terlalu banyak waktu pembelajaran akademik.

"Kami merasa tertekan dengan alokasi waktu untuk P5, karena hal ini mengurangi jam belajar untuk mata pelajaran yang lebih mendasar seperti matematika dan sains," keluh seorang guru sekolah menengah di Bandung (Detik.com, 08/10/2024).

Efektivitas P5 perlu dievaluasi secara serius. Meskipun karakter dan nilai-nilai Pancasila sangat penting, penekanannya tidak boleh mengorbankan kompetensi akademik yang juga krusial bagi masa depan siswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline