Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Upaya Nyata Mencegah dan Menangani Perundungan di Tempat Kerja

Diperbarui: 19 Oktober 2024   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | sumber: thecounsellingclinic.co.uk

Di sebuah kantor, di mana orang-orang sibuk dengan layar komputer dan rapat tanpa henti, ada cerita yang jarang dibahas. Cerita tentang seorang pekerja yang trengginas, bekerja dengan rajin, tetapi perlahan-lahan kehilangan semangat.

Tidak ada yang salah pada pandangan pertama---ia tetap hadir, menyelesaikan tugasnya. Namun, sesuatu di balik senyumnya tidak lagi sehangat dulu. Dia mulai enggan berbicara dalam rapat, sering menunduk ketika ditanya pendapat, dan makan siang sendiri.

Di tempat kerja, perundungan bisa datang dengan berbagai wajah. Itu bisa berupa ucapan kasar dari atasan, rekan yang terus-menerus meremehkan pekerjaan kita, atau bahkan sikap dingin yang tak terucapkan.

Semua ini bisa terjadi di depan mata kita, tetapi sering kali terlewat. Masalahnya adalah, ketika perundungan terjadi di kantor, banyak yang memilih diam. Mengapa?

Karena sering kali orang yang menjadi korban takut akan konsekuensi yang lebih buruk: kehilangan pekerjaan, reputasi yang hancur, atau bahkan dijadikan kambing hitam.

Isu ini semakin mengemuka di Indonesia, khususnya di tengah tren perusahaan yang berusaha menciptakan budaya kerja lebih terbuka. Namun, ironisnya, dalam lingkup yang berusaha inklusif itu, perundungan tetap mengintai di sudut-sudut kantor.

Apa yang bisa kita lakukan? Lebih penting lagi, bagaimana kita, sebagai bagian dari komunitas kerja, bisa membantu sesama rekan yang menjadi korban?

Ketidakseimbangan Kekuasaan: Pemicu Utama Perundungan

Di tempat kerja, ketidakseimbangan kekuasaan sering menjadi akar dari perundungan. Ketika satu pihak merasa lebih unggul---baik karena jabatan, pengalaman, atau koneksi---ia bisa mulai menyalahgunakan kekuasaan tersebut.

Misalnya, seorang atasan yang terus-menerus meremehkan kontribusi bawahannya, atau seorang rekan kerja yang menolak berbagi informasi penting hanya karena ingin terlihat lebih kompeten di mata pimpinan.

Dalam budaya kerja Indonesia, yang cenderung hierarkis, perundungan semacam ini bukanlah hal yang asing. Menurut Dr. Ria Anindita, seorang psikolog industri, "Perundungan seringkali muncul karena adanya dinamika kekuasaan yang tidak sehat. Di banyak perusahaan, tidak ada sistem yang cukup jelas untuk memastikan bahwa karyawan bisa merasa aman melaporkan kasus-kasus ini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline