Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Menumbuhkan Generasi Tangguh di Tengah Tantangan Kesehatan Mental di Sekolah dan di Rumah

Diperbarui: 19 Oktober 2024   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | sumber: penerbitbmedia.com

Senyum merekah menghiasi wajah ribuan siswa saat bel sekolah berbunyi, namun di balik keceriaan itu, tersimpan beban yang tak terlihat. Di balik seragam yang sama, setiap siswa membawa cerita dan perjuangan batin yang berbeda.

Di balik dinding-dinding kelas, di bawah tekanan buku pelajaran yang tebal dan jadwal ujian yang menanti, tersembunyi berbagai beban emosional yang sering kali tidak terlihat.

Sekolah bukan sekadar tempat belajar, melainkan arena penuh tekanan---akademis, sosial, bahkan mental. Dan di balik keberhasilan akademik seorang anak, kerap kali tersembunyi masalah kesehatan mental yang terabaikan.

Sekitar 6-7% anak usia sekolah di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, menurut laporan Kementerian Kesehatan pada tahun 2022. Meskipun angka ini tampak kecil, dengan populasi pelajar yang sangat besar, ini berarti jutaan anak membutuhkan perhatian khusus. 

Kesehatan mental anak sering terbungkus dalam topeng senyuman, prestasi, dan tekanan harapan---baik dari sekolah maupun rumah.

Psikolog klinis, Ratih Ibrahim, menyatakan, "Anak-anak tidak hanya harus berprestasi di sekolah, tetapi juga harus merasa aman secara emosional." Sebuah pernyataan yang mengingatkan kita bahwa di tengah upaya mengejar prestasi, kebutuhan emosional sering kali terpinggirkan. 

Jika terus dibiarkan, masalah-masalah ini dapat menumpuk dan menimbulkan dampak jangka panjang yang serius.

Sekolah: Lebih dari Sekadar Tempat Belajar

Di kota-kota besar Indonesia, sekolah telah berubah menjadi medan persaingan yang sangat ketat. Orang tua, dengan niat yang baik, sering kali mendorong anak-anak mereka untuk mencapai prestasi akademik tertinggi.

Namun, di balik dorongan ini, muncul tekanan yang kadang tak terlihat. Ujian yang konstan, tuntutan untuk meraih nilai sempurna, serta peringkat yang menentukan "kesuksesan" seorang siswa menjadi sumber stres yang berkelanjutan.

Menurut survei UNICEF pada tahun 2020, hampir 30% siswa di Indonesia merasa tertekan oleh beban akademik yang mereka hadapi setiap hari. Rasa tertekan ini bukan sekadar keluhan sementara; bagi sebagian siswa, tekanan tersebut berubah menjadi kecemasan yang akut, hingga mempengaruhi prestasi akademik mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline