Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Miskin Ya Miskin, Pernyataan Prabowo yang Mengguncang Logika Bahasa Kemiskinan

Diperbarui: 10 Oktober 2024   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih RI Prabowo Subianto | Sumber gambar: tribunnews.com

"Mbok ya kita miskin, ya (bilang) miskin." -- Prabowo Subianto (Tempo.co, 10 Oktober 2024). Kalimat yang sederhana, tapi menghentak ini mencuat dari Presiden Terpilih Indonesia, Prabowo Subianto.

Dalam suasana yang semakin dipenuhi dengan jargon-jargon kemiskinan yang dirancang untuk memperhalus kenyataan pahit, Prabowo menyuarakan sesuatu yang jujur, kasar, dan tidak bisa dibantah: "Miskin ya miskin!" Pernyataan ini memotong langsung ke inti masalah yang seringkali dipermanis dengan istilah-istilah birokratis.

Seperti yang dikatakannya dalam Forum Sinergitas Legislator PKB, Prabowo mengkritik keras cara-cara halus untuk menggambarkan kemiskinan yang nyata di Indonesia. 

Istilah seperti "pra-sejahtera" atau "aspiring middle class" memang enak didengar. Tapi, bukankah itu hanya kedok untuk mengatakan hal yang sama? Dalam bahasa yang lebih polos: masih ada lebih dari 25 juta orang yang hidup dalam kemiskinan di Indonesia, sesuai laporan BPS per Maret 2024.

Namun, pernyataan Prabowo ini memancing pertanyaan lebih dalam. Mengapa kita begitu tergila-gila dengan istilah? Mengapa "miskin" harus diperhalus menjadi "pra-sejahtera"? 

Apakah kita, sebagai bangsa, terlalu takut untuk menghadapi kenyataan sehingga kita perlu memoles kenyataan pahit ini dengan kosmetik bahasa? Lebih jauh, apa yang sebenarnya kita lakukan dengan bahasa-bahasa manis ini? Menghibur diri sendiri atau meninabobokan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan dengan harapan semu?

Bahasa: Topeng Realitas atau Senjata Politik?

Jika kita telusuri, manusia memang punya kecenderungan untuk menciptakan istilah yang terdengar lebih enak untuk kenyataan yang tidak menyenangkan. Tidak jarang, bahasa digunakan untuk menghindari kenyataan yang sulit dihadapi.

 Lihat saja istilah "pemutusan hubungan kerja." Lebih lembut bukan daripada "dipecat"? Sama halnya dengan "pra-sejahtera," yang terdengar seperti fase sementara, seolah-olah semua orang yang termasuk dalam kategori ini berada di jalan menuju kesejahteraan. Faktanya, banyak dari mereka tidak pernah sampai ke sana.

Namun, di balik kelembutan istilah ini, tersembunyi permainan politik yang cerdas. Istilah-istilah seperti "pra-sejahtera" atau "aspiring middle class" bukan hanya sekadar untuk memperhalus kenyataan. 

Mereka juga berfungsi sebagai alat politik untuk membangun narasi bahwa keadaan "miskin" hanyalah sementara, bagian dari perjalanan menuju sesuatu yang lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline