Jika ada satu pertanyaan mendasar yang bisa mengguncang fondasi logika manusia, mungkin pertanyaan itu bukan soal "Apakah Tuhan ada?" atau "Siapa yang menciptakan alam semesta?" Bukan. Pertanyaan yang sungguh membingungkan justru datang dari meja makan: Bubur, diaduk atau tidak diaduk? Pertanyaan ini, jika direnungkan lebih dalam, adalah salah satu misteri terbesar dalam hidup---sebuah teka-teki yang menguji kecerdasan sekaligus kesabaran.
Mari kita pikirkan baik-baik. Kenapa orang sampai berdebat begitu serius soal bubur yang diaduk atau tidak diaduk?
Apakah karena cita rasa, tekstur, atau hanya karena kita, sebagai manusia, memiliki kebutuhan mendalam untuk menciptakan konflik dari hal-hal remeh?
Seperti misalnya, kenapa ada orang yang suka berdiri saat naik eskalator padahal bisa saja ia diam dan menikmati perjalanan yang dipercepat oleh gravitasi?
Nah, bubur diaduk atau tidak, mungkin adalah salah satu dari "pertanyaan soal eskalator" ini. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban pasti, tapi selalu bikin kita bertanya-tanya: Kenapa?
Saya pribadi? Saya tidak berpihak pada kedua kubu itu. Jujur saja, saya lebih tertarik pada sesuatu yang sering kita abaikan: bareng siapa makan buburnya.
Mungkin kita terlalu sibuk mengaduk-aduk mangkuk sampai lupa melihat siapa yang duduk di seberang meja.
Dan di sinilah letak kejeniusan bubur. Mangkuk sederhana ini, se centong bubur yang dari zaman dulu hanya terbuat dari nasi dan air, bisa menggali begitu banyak lapisan eksistensial dari hidup kita.
Tapi tenang, saya di sini tidak untuk memberi ceramah filsafat soal bubur. Meskipun kalau dipikir-pikir, bubur sebenarnya adalah filosofi hidup dalam bentuk makanan.
Sejenis makanan dalam mangkuk yang mengajarkan kita bahwa terkadang, hal-hal yang paling sederhana dalam hidup bisa mengundang perdebatan yang paling kompleks.