Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

Eklektik.

Menguak Misteri di Balik #Desperate: Mengapa Generasi Muda Merasa Terjebak dan Bagaimana Cara Keluar?

Diperbarui: 9 Oktober 2024   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | Sumber: indonesiasentinel.com

Pernahkah Anda merasa tenggelam di lautan lamaran kerja? Jutaan pencari kerja muda kini merasakan hal yang sama.  

Di tengah ketidakpastian dan ketegangan ini, tagar #Desperate menjadi sejenis "teriakan SOS" di LinkedIn, menggambarkan frustrasi yang mereka rasakan. 

Namun, apakah tagar ini benar-benar hanya curahan emosi, atau ada sesuatu yang lebih dalam?

Fenomena #Desperate yang viral di kalangan pencari kerja muda ini menunjukkan adanya dinamika psikologis dan sosial yang kuat.

Di balik satu kata sederhana tersebut, tersimpan berbagai persoalan yang merentang dari ketidakpastian ekonomi, ekspektasi yang tidak realistis, hingga tekanan sosial yang semakin tinggi. 

Apa sebenarnya yang mendorong penggunaan tagar ini? Apa dampaknya terhadap pencari kerja, dan bagaimana kita bisa menawarkan solusi yang lebih efektif? Mari kita selami lebih dalam.

1. Psikologi Sosial di Balik Tagar #Desperate

Di era digital ini, di mana hampir semua aspek kehidupan terhubung dengan media sosial, pencarian kerja tidak lagi hanya soal kompetensi, tetapi juga soal eksposur. Dengan memanfaatkan platform seperti LinkedIn, generasi muda berusaha menonjolkan diri mereka di antara lautan pencari kerja lainnya. Namun, ekspektasi yang dibangun oleh media sosial sering kali menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, media sosial dapat membuka peluang, tetapi di sisi lain, media ini juga menambah tekanan sosial dan kecemasan.

Penggunaan tagar #Desperate di media sosial tidak hanya mencerminkan frustasi pencari kerja, tetapi juga merefleksikan beberapa faktor psikologis berikut:

Kebutuhan untuk Diakui: Dalam konteks identitas sosial, individu memiliki dorongan kuat untuk mendapatkan pengakuan. Dalam lingkungan yang kompetitif seperti LinkedIn, di mana kesuksesan sering kali ditampilkan sebagai standar normatif, pencari kerja merasa terdorong untuk secara terbuka mengekspresikan frustrasi mereka. Tagar ini menjadi alat untuk mencari pengakuan dan dukungan dari orang-orang dengan pengalaman serupa.

Kecemasan akan Masa Depan: Ketidakpastian ekonomi, terutama di masa pandemi dan pasca-pandemi, membuat banyak pencari kerja muda merasa cemas akan masa depan mereka. Kecemasan ini semakin diperparah oleh ketidaksesuaian antara harapan dan realitas di dunia kerja, menciptakan tekanan emosional yang kuat.

Sosial Media sebagai Tempat Pelepasan Emosi: Platform seperti LinkedIn bukan hanya tempat untuk mencari pekerjaan, tetapi juga ruang bagi individu untuk berbagi perasaan dan pengalaman mereka. Ini menjelaskan mengapa tagar #Desperate begitu populer, karena media sosial memberi mereka ruang untuk berteriak, "Aku butuh bantuan!"

2. Perbandingan Generasi: Tantangan yang Sama, Respons yang Berbeda

Jika kita melihat bagaimana generasi sebelumnya menghadapi tantangan serupa dalam mencari pekerjaan, kita menemukan perbedaan besar dalam cara mereka mengekspresikan frustrasi. 

Generasi baby boomer, misalnya, mungkin menghadapi kesulitan serupa dalam mencari pekerjaan, tetapi mereka tidak memiliki platform publik untuk mengekspresikan perasaan mereka secara terbuka. Mereka cenderung mengandalkan jaringan keluarga dan teman untuk mencari solusi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline