Lihat ke Halaman Asli

Adib Abadi

TERVERIFIKASI

Eklektik

Revolusi Pendidikan: 8 Langkah Membangun Sekolah Tanpa Kekerasan

Diperbarui: 7 Oktober 2024   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | Sumber gambar: static-asset.amac.us

Apa yang salah dengan pendidikan kita hingga kekerasan di sekolah terus terjadi?

Pertanyaan ini mungkin sering muncul di benak kita setiap kali mendengar kasus perundungan, kekerasan fisik, atau kekerasan verbal yang terjadi di lingkungan sekolah. 

Meski pendidikan seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan tumbuh, kenyataannya, banyak siswa yang mengalami trauma akibat kekerasan di sekolah. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan gotong royong, mungkinkah kita benar-benar menciptakan sekolah tanpa kekerasan?

Jawabannya adalah mungkin, namun dibutuhkan revolusi pendidikan yang melibatkan seluruh elemen sekolah---dari guru, siswa, hingga orang tua. Menghilangkan kekerasan di sekolah bukan hanya soal aturan disiplin yang lebih ketat, tetapi memerlukan perubahan mendasar dalam cara kita mendidik, berinteraksi, dan membangun komunitas di sekolah. Berikut ini adalah delapan langkah yang bisa kita lakukan untuk membangun sekolah tanpa kekerasan.

1. Sekolah Berbasis Restoratif: Mengedepankan Pemulihan, Bukan Hukuman

Pendekatan disiplin tradisional yang berfokus pada hukuman seringkali gagal menyelesaikan akar masalah kekerasan. Sebaliknya, pendekatan restoratif berfokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat kekerasan. 

Dalam pendekatan ini, pelaku kekerasan dan korban diajak untuk berdialog dan memahami dampak tindakan tersebut, kemudian bekerja sama untuk memperbaiki hubungan. Dengan cara ini, pelaku belajar bertanggung jawab secara sosial dan emosional, sementara korban merasa didengar dan dihormati. Beberapa sekolah di luar negeri yang telah menerapkan metode ini berhasil menurunkan angka kekerasan secara drastis.

Di Indonesia, sistem seperti ini masih jarang diterapkan secara formal. Padahal, budaya kita yang mengedepankan musyawarah dan mufakat sangat cocok dengan pendekatan ini. Sekolah bisa menjadi ruang untuk mempraktikkan penyelesaian konflik dengan cara yang lebih manusiawi, tanpa kekerasan.

2. Pelatihan Emosional dan Kecerdasan Sosial

Seberapa sering kita mengajarkan anak-anak tentang cara mengelola emosi mereka? 

Atau bagaimana cara berempati terhadap orang lain? Pendidikan di Indonesia cenderung lebih fokus pada pencapaian akademik daripada pengembangan keterampilan sosial dan emosional. Padahal, keterampilan ini adalah kunci untuk mencegah kekerasan di sekolah.

Social-emotional learning (SEL) adalah program pendidikan yang mengajarkan anak-anak untuk mengenali dan mengelola emosi mereka, mengembangkan empati, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Di banyak negara, SEL sudah menjadi bagian penting dari kurikulum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline